Tradisi Dayak dan Visi Lingkungan
KEBERADAAN suku Dayak di Pulau Kalimantan sudah sedemikian lama.
Sayangnya, sedikit literatur bergaya populer yang bisa disuguhkan bagi para penikmat budaya. Sebab itu, buku berjudul Tuah Rumpun Padi, Ragam Budaya Dayak di Kalimantan Barat layaklah dilirik.
Buku karya Aries Munandar ini memang menyajikan sepotong demi sepotong khazanah budaya suku Dayak. Tujuannya mendokumentasikan upaya pelestarian tradisi Dayak yang penuh dengan kearifan lokal di tengah serbuan kemodernan. Dimulai dengan tradisi penerimaan tamu bertajuk potong ompong, penulis mengawali bahasan tradisi yang berlaku di komunitas adat Dayak Limbai.
Tradisi itu dilakukan untuk menyambut orang dari luar yang akan masuk ke wilayah adat mereka. Sebut an tradisi itu mengacu pada puncak prosesi, yakni tamu memotong sebilah bambu yang disebut ompong. Sebelum itu, tamu disuguhi rangkaian upacara, dari pencak silat, tarian, potong ayam, hingga pemasangan gelang. Prosesi itu bertujuan agar tamu yang bakal masuk wilayah adat tidak kerasukan dan terhindar pengaruh magis. Para tamu diberi semacam pagar gaib melalui prosesi
itu.
Selain tradisi potong ompong, komunitas adat Dayak Limbai di perkampungan Sungkup juga masih punya banyak ritual lain, di antaranya mopat daun padi dan pogowai mandi anak. Komunitas adat itu juga menerapkan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Misalnya, hasil hutan hanya boleh diambil seperlunya saja.
Berbincang soal pengelolaan berkelanjutan, warga Dayak Pesaguan dan Dayak Dalai pun punya cara tersendiri. Mereka mengamati posisi bulan dan bintang untuk menentukan masa tanam. Dengan menyesuaikan siklus alam, kesuburan tanah tidak terganggu. Cara itu dianggap ramah lingkungan karena alam tidak dipaksa di luar batas.
Beberapa tradisi tersebut menjadi bagian awal dari buku yang terdiri atas 29 bagian ini. Tiap bagian berangkat dari tradisi maupun kebia sa an lokal dari masyarakat adat Dayak, lalu berkembang ke nilai, manfaat, dan kearifan lokal. Hal itu menjadikan setiap bagian buku punya napas masing-ma sing meski pelestarian tradisi menjadi simpul utama.
Gaya jurnalistik
Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan penulis yang terbit di Harian Umum Media Indonesia dalam rentang 2010-2017. Sebab itu pula, pendekatan jurnalistik begitu kentara. Selain itu, gaya tutur ala produk jurnalistik juga menjadi poin tersendiri yang membedakan buku ini dengan buku lain sejenis.
Di samping gaya penulisan ala jurnalis tik, lingkup spiritual begitu kental terasa dalam buku ini. Hal itu disebabkan titik tolak penulisan yang berangkat dari tradisi adat. Meski demikian, narasi tak hanya berhenti pada pengupasan tradisi, tetapi juga berlanjut hingga ke kearifan lokal dan lingkungan. Boleh dikata, buku itu mencatat pelestarian lingkungan dari para pelestari tradisi. Sebagaimana tecermin dari judul-judulnya, seperti Menyucikan Diri setelah Musim Panen Padi, Petunjuk Spiritual dalam Semangkuk Air, Menghidupkan Adat Per ka winan Kayaan, dan Tuah Rumpun Padi di Ladang Dayun.
Pada bagian Sakralitas Te nun an Berwarna Alami, misalnya, Aries berangkat dari narasi tentang tenun kreasi dengan motif tradisional khas Dayak Iban. Aries menjelaskan bahwa menenun, bagi mereka, bukan sekadar merajut dan menganyam benang menjadi kain.
Tradisi ini juga dilingkupi sakralitas. Ada ritual dan berbagai pantangan yang wajib dijalani para penenun, seperti anak belum tumbuh gigi pantang memegang alat tenun karena diyakini bisa menjadi bisu. Penenun harus yakin saat proses pencelupan benang, kalau tidak, akan menghasilkan warna tidak bagus.
Ada juga ritual yang menyertai tradisi menenun, misalnya bedarak atau sesajen yang harus disiapkan sebelum menata benang pada alat tenun. Ritual itu bernama pinjam motif, yang wajib digelar penenun ketika ingin menggunakan motif milik atau karya penenun lain.
Dalam bagian itu pula, diungkap sisi lingkungan dalam menenun. Misalnya, penenun tidak mengandalkan pewarna buatan. Mereka memanfaatkan bahanbahan alami, seperti yang dilakukan leluhur mereka tempo dulu. Pada bagian Tuah Rumpun Padi di Ladang Dayun (hlm 72), Aries menceritakan seorang perempuan bernama Marsiana Dayun yang membudidayakan berbagai jenis padi lokal untuk menyiasati topografi dan kondisi lahan di ladangnya. Ladangnya menempati hamparan lahan yang tidak rata, dari dataran tinggi, landai, hingga dataran rendah dan berawa. Dayun mengunakan berbagai jenis padi untuk menyiasati tofografi dan kondisi lahan. Lahan berawa, misalnya, ditanami dengan varietas yang toleran terhadap genangan air.
Selain itu, Aries menceritakan tradisi cocok tanam itu sarat pantangan dan lelaku ritual. Misalnya, pengolahan ladang secara gotong royong yang disebut beduruk atau situlis. Ada pula ritual pamindara yang dilakukan saat pembukaan lahan. Ritual itu untuk memohon izin kepada arwah leluhur atau penunggu lahan. Peladang menuangkan tuak sebanyak tiga kali ke lahan dan disertai rapalan mantra.
Pamindara juga kembali digelar saat hendak menanam padi dengan sesajen lengkap, di antaranya lemang, rokok daun, dan sirih-pinang. Setiap bahan harus berjumlah delapan sebagai simbol arwah yang baik.
Tiap bagian dalam buku ini memang tidak hendak bercerita dengan kelengkapan selayaknya tulisan ilmiah ataupun hasil riset. Meski demikian, gaya tutur ringan dipadu dengan struktur narasi ala jurnalistik menjadikan buku ini selayaknya jendela untuk mengenal tradisi komunitas adat Dayak. (M-2)
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/309482-tradisi-dayak-dan-visi-lingkungan
Kategori : Media Eksternal