Luwuk.today, Jakarta – Jalan kompromi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendapat tanggapan dari pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Menurut dia, pemberian jeda lima tahun bagi mantan narapidana kasus korupsi bisa mencalonkan diri menjadi Calon Kepala Daerah, merupakan sebuah jalan kompromi.
“Memberi waktu lima tahun untuk bisa aktif kembali adalah jalan kompromi dimana disatu sisi tetap menghargai HAM politik seseorang,” ucap dia kepada wartawan di Jakarta, Kamis (12/12/19).
Meski begitu, Ketua Indonesia Servanda Institute (ISI) ini berharap, dengan adanya aturan tersebut bakal memberikan kesempatan kepada para eks koruptor untuk berpikir, apakah akan tetap di dunia politik atau tidak.
“Kurun waktu 5 tahun itu diharapkan bisa menurunkan bahkan menghilangkan libido koruptif,” tukasnya.
Dikerahui, MK menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada
Mahkamah menyatakan, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada disebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.[latoki]