Opini

Sang Mutiara itu- 7 (terakhir)

ADA satu prilaku diskriminatif umat dalam menyikapi sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Satu yang paling sering diabaikan adalah sunnah-sunnah beliau dalam kehidupan publik dan sosialnya. Seolah sunnah hanya bersifat personal, bahkan itupun dibatasi dalam hal-hal ritual ubudiyah semata.

Padahal sekali lagi, sunnah-sunnahnya mencakup segala aspek hidup manusia untuk ditauladani. Muhammad SAW memang adalah manusia biasa (basyar). Tapi kemanusiaan beliau mencapai tingkatan kesempurnaannya. Karenanya menuntut kesadaran Umat untuk menauladani beliau juga secara sempurna dalam kehidupan.

Pada bagian lalu disebutkan ketauladanan dalam aspek iman, ibadah, dan juga pada sisi karakter pribadi. Bahwa pada semua itu beliau menjadi tauladan terbaik. kehidupan beliau adalah aktualisasi hidup dari keagungan ajaran Al-Quran.

Hal terakhir yang ingin saya bahas adalah sunnah-sunnah Rasul dalam kehidupan sosial dan publik beliau. Pada sisi inilah banyak yang terlupakan atau diabaikan sengaja atau tidak oleh umatnya. Baik itu dikaranakan oleh ketidak tahuan. Ataupun juga karena kesalahan dalam memahami agama sebagai agama personal semata.

Kesalahan memahami agama seperti ini lebih dikenal dengan paham “tab’idh” atau pemahaman yang sebagian-sebagian. Biasanya pada tahap ini beragama umumnya ditentukan oleh kecenderungan hawa nafsu. Tanpa disadari makna “Islam” secara esensi hilang. Bahwa beislam sesungguhnya bermakna berserah diri (istislam) secara totalitas kepada kekuasaan dan aturan Ilahi.

Oleh karena agama bersifat “syamil, Kamil wa mutakamil” (menyeluruh, sempurna dan komprehensif) maka demikian pula sunnah Rasul SAW. Termasuk di dalamnya bagaimana harusnya Umat ini menjalankan kehidupan publik dan sosialnya.

Saya tentunya tidak pada posisi menjelaskan secara rinci sunnah-sunnah Rasul pada aspek hidup sosial. Tapi sekedar mengingatkan agar Umat ini sadar, jangan lupa atau pura-pura lupa jika sunnah-sunnah itu ada pada aspek sosial dan publik hidup manusia.

Rasulullah SAW adalah tajir (businessman). Dan dalam menjalankan bsinisnya beliau ada ketauladanan yang agung. Tentu bukan pada teknis pelaksanaan bisnis beliau. Tapi lebih kepada nilai-nilai agung (value) yang beliau demonstrasikan dalam menjalankan bisnisnya.

Salah satunya sebagai misal adalah nilai kejujuran dalam bisnis. Kejujuran ini merupakan aktualisasi dari ajaran Islam yang mengecam “ketidak jujuran” atau lebih dikenal dengan prilaku “muthoffif” (tidak jujur dalam menimbang).

Kejujuran dalam bisnis ini diperlihatkan di saat beliau menjadi menejer bisnis calon isterinya ketika itu, Khadijah RA. Walhasil dengan kejujuran itu beliau selalu meraih keutungan (profit) yang luar biasa. Dan ini pulalah yang menjadikan Khadijah ketika itu diam-diam jatuh hati dengan Rasulullah SAW.

Selanjutnya beliau kemudian memotivasi Umatnya untuk jujur dalam bisnis. Bahkan dalam hadits “tajirun shaduuq” (pebisnis yang jujur) dijanjikan syurga. Juga menjadi salah satu golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah di Padang Mahsyar kelak.

Rasulullah SAW itu adalah Panglima militer. Beliau adalah Panglima tertinggi (commander in-chief). Dan karenanya beliau menjadi tauladan yang agung dalam kepemimpinan militer.

Salah satu yang terpenting pada aspek ini adalah bagaimana bahkan ketika dalam keadaan genting sekalipun beliau tidak pernah kehilangan “sense of compassion” (rasa kasih sayang) yang memang menjadi bagian integral dari dirinya sebagai “rahmatan lil-alamin).

Beliau misalnya tekankan kepada semua prajuritnya: “jangan membunuh wanita, anak-anak, orang tua, bahkan siapa saja yang tida memerangimu (non combatans)”.

Lebih jauh beliau selalu mengingatkan: “jangan mengganggu orang-orang yang beribadah, termasuk merusak rumah ibadah. Jangan membunuh hewan, jangan membabat pohon-pohon, dan jangan meracuni sumur”.

Intinya beliau sebagai Panglima perang selalu mengedepankan “moralitas” dan nilai kasih sayang bahkan kepada musuh. Perang bagi beliau bukan bertujuan merusak dan membunuh. Sebaliknya perang terpaksa dilakukan untuk membendung pembunuhan dan kerusakan yang lebih besar.

Beliau adalah diplomat ulung. Berbagai peristiwa dalam sejarah yang memerlukan skill diplomasi yang tinggi beliau buktikan. Diantaranya pada perjanjian pasca perang Badar dan beberapa perjanjian selanjutnya.

Mungkin yang paling kita ingat adalah bagaimana beliau melakukan negosiasi ketika orang-orang kafir Quraysh melarang beliau masuk Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Bagi banyak kalangan hal itu adalah pelecehan. Dan karenanya izzah (kemuliaan) menjadi taruhan.

Instink diplomasi beliau tumbuh. Tentunya secara teologis memang dengan inspirasi langit. Beliau justeru ingin memakai momentum itu untuk melakukan dialog dan perjanjian dengan musuh-musuhnya.

Ada dua hal yang menonjol dari keputusan beliau itu. 1) bagaimana beliau selalu mendahulukan solusi damai di atas konflik. 2) bahwa beliau memiliki visi yang jauh dalam melihat jalan perjuangan.

Perundingan diplomasi di Hudaibiyah itu menghasilkan apa yang dikenal dalam sejarah dengan “Perjanjian Hudaibiyah”. Hal yang menakjubkan kemudian adalah ternyata di balik dari negosiasi yang dianggap sebagian sahabat sebagai posisi lemah, ternyata menjadi pintu kemenangan besar (fathun mubiina). Yaitu pintu besar untuk memasuki kembali kota Mekah dan membebaskannya dari cengkraman kesyirikan yang berkepanjangan.

Rasulullah SAW juga adalah pemimpin negara dan bangsa. Pemimpin dari sebuah negara yang baru dengan segala masa lalu kelamnya. Keragaman penduduknya yang pelik kerap menjadi penyebab gesekan-gesekan sosial. Perang antar suku menjadi sebuah tradisi lama sebelum beliau tiba di kota itu.

Maka untuk menata kembali sistim kenegaraan itu, demi menganyam kembali ikatan-ikatan sosial yang ragam itu, beliau menginisiasi terbentuknya konstitusi sipil pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi inilah yang kita kenal dengan “Piagam Madinah” (Charter of Madinah).

Ada dua hal yang ingin saya garis bawahi dari Konstitusi Madinah ini.

Pertama, bahwa dalam proses pembuatannya Rasulullah SAW melibatkan semua komponen masyarakat Madinah, termasuk Yahudi, Kristen, bahkan mereka yang masuk dalam kategori Arab musyrik. Artinya ada karakter inklusifitas dalam prosesnya.

Kedua, bahwa salah satu bab terpanjang dalam Konstitusi itu adalah jaminan hak-hak minoritas (non Muslim). Bahkan mereka semua dianggap bagian dari umat Muhammad (ummati). Kata Umat di sini dalam konteks Madinah adalah Kebangsaan. Bahwa walaupun mereka beda agama tapi mereka punya hak yang sama sebagai bangsa.

Saya hanya ingin ingatkan bahwa peristiwa di atas terjadi di sebuah daerah padang pasir. Daerah yang kerap ditandai oleh kejahilan dan kekerasan. Dan ini terjadi di abad ke enam. Bukan abad 20 atau 21.

Bisakah manusia sedikit membuka mata dan pikiran tentang keagungan seorang Muhammad SAW dalam kehidupan publiknya? Di mana mereka yang bangga dengan peradaban barat? Mereka ada dalam kegelapan, bahkan sesungguhnya “tidak eksis”.

Mungkin terakhir yang ingin saya sebutkan juga adalah ketauladanan beliau dalam melakukan hubungan internasionalnya (global affairs). Saya tidak bermaksud untuk menjadikan beliau tuntunan dalam hubungan internasional secara literal. Saya tentunya tidak perlu melihat pemimpin dunia Islam mengirim surat dan mengajak pemimpin dunia lain masuk Islam.

Yang justeru ingin saya garis bawahi adalah adanya keberanian (courage) dan political will beliau untuk menampilkan eksistensinya sebagai bagian dari pemimpin dunia. Sesuatu yang saya yakin hampir tidak ada pada pemimpin dunia Islam masa kini.

Saya khawatir justeru ketauladanan ini berbalik. Dari keberanian dan keinginan untuk eksis sebagai salah seorang yang ikut menentukan wajah dunia global kita. Menjadi pemimpin-pemimpin yang hanya cenderung ikut kepada warna dunia yang ditentukan oleh pemimpin lain.

Akhirnya, saya ingatkan sekali lagi, masanya Umat untuk membuka mata terhadap sunnah-sunnah Rasul secara menyeluruh. Jangan diskriminatif dan parsial dalam bersunnah. Bersunnahlah kepada beliau termasuk di pasar-Pasar, kantor-kantor, parlemen-parlemen, bahkan di istana-istana negara.

Masalahnya apakah paham dan sadar? Atau apakah memang mengimani dengan sungguh-sungguh? Biar kenyataan hidup yang menjawab!

Oleh: Imam Shamsi Ali ( Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nur Inka Nusantara Madani)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button