Ritual Penahbisan Rumah Adat di Toraja
EMPAT tongkonan (rumah adat/leluhur) berdiri megah di halaman kompleks wisata Tongkonan Karuaya di Sangalla, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Cahaya matahari siang itu memperjelas garis-garis ukiran dengan warna merah dan kuning terang di dinding rumah Tongkonan Ne’Dada yang akan ditahbiskan. Hari hampir menjelang sore dan ritual ma’karenren siap dimulai.
Ritual ini menjadi salah satu tahap persiapan sebelum memasuki puncak upacara mangrara banua. Tidak banyak yang hadir pada upacara persiapan hari itu. Hanya beberapa tetua adat dan pemilik tongkonan.
Wajar saja, mengingat ritual ini adalah rangkaian dari upacara syukur mangrara banua versi Aluk Todolo (kepercayaan leluhur orang Toraja) sehingga orang Toraja yang telah memeluk agama Kristen ataupun Islam pantang menghadiri ritual penyembah an arwah leluhur semacam ini.
Di depan rumah tongkonan, beberapa ibu tengah sibuk mengolah beras yang akan dipakai sebagai sajian persembahan. Seorang kakek dan pria paruh baya terlihat mengambil seekor ayam berbulu hitam pekat dari kandang.
Mereka paham betul apa saja yang perlu dipersiapkan dalam ritual ma’karenren. Dengan cekatan, pria yang lebih tua mengambil sebilah pisau yang tersimpan di balik sarungnya. Darah ayam yang mengucur ditadah di daun pisang dan disimpan sebagai sajian ritual.
Beberapa lembar daun ijuk serta rotan ditata sebagai altar untuk mempersembahkan sajian. Potongan-potongan kecil daging ayam mentah dan jahe ditusuk serupa satai, dan ditempatkan di tengah-tengah altar.
Empat lembar daun sirih diletakkan di atas nyiru yang digunakan sebagai wadah untuk sesajen kepada arwah leluhur. Di atas lembarannya, sepotong buah pinang yang dibagi empat tersusun dengan rapi. Setiap bagian buah pinang mewakili tiap leluhur pendiri tongkonan.
Ibu-ibu yang hadir dalam pelaksanaan ritual bertugas memasak beras ketan dengan warna yang berbeda-beda, merah, putih, dan kuning, serupa warna passura (ukiran) yang menghias dinding tongkonan.
Mereka lalu mengambil potongan-potongan daging ayam yang telah dimasak menjadi bagian-bagian kecil. Tuak di dalam daun pisang kemudian dituangkan ke atas tiap sesajen yang telah selesai disiapkan.
Terakhir, empat lembar daun sirih juga diletakkan di atas daun pisang. Setelah ritual persembahan ma’karenren selesai, sisa beras dan daging yang telah dimasak dibagi-bagikan kepada setiap orang yang mengambil bagian dalam ritual sebagai wujud kebersamaan sebagai satu rumpun keluarga. Menolak untuk makan diartikan sebagai penolakan untuk merasakan suka dan duka sebagai keluarga. Memasuki hari puncak upacara penahbisan Tongkonan Ne’Dada di Lembang Datu, Sangalla, para tamu dan keluarga berdatangan.
Berpakaian rapi dengan balutan kebaya serta batik, mereka memenuhi alang (lumbung) yang menjadi tempat khusus untuk para pejabat pemerintah, tokoh adat, dan keluarga pemilik tongkonan. Suasana pagi itu sarat dengan sukacita dan kemeriahan pesta. Puluhan ekor babi yang dibawa oleh pihak keluarga memenuhi lapangan upacara, lengkap dengan para penjagalnya.
Satu ekor babi yang menjadi pilihan akan dihidangkan di atas tongkonan sebagai sajian yang akan diberikan untuk deata (dewa pelindung). Laki-laki dan perempuan yang bertugas menyiapkan persembahan satu per satu naik ke tongkonan, dengan rantang yang berisi nasi, lengkap dengan kapur sirih dan daun pisang.
Mereka bekerja dalam diam, hanya keduatangan yang cekatan membagi setiap sajian sama rata untuk para deata pemilik alam. Adapun di depan tongkonan seorang imam adat Aluk Todolo berdiri melafalkan doa dalam bahasa Toraja dan suasana berubah hening untuk beberapa saat.
Tradisi yang berubah
Upacara penahbisan tong konan dalam versi Aluk Todolo seperti yang dilaksanakan di Karuaya sudah sangat jarang, bahkan sulit untuk ditemukan.
Hal ini diakui oleh Ne’Tato Dena, seorang imam adat Aluk Todolo, sebagai salah satu dampak darimasuknya agama-agama resmi seperti Katolik, Protestan, dan Islam ke Toraja, yang kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat adat Toraja saat ini.
Aturan-aturan dalam Aluk Todolo yang berwujud ritual atau upacara lantas dianggap bertentangan dengan ajaran agamaagama ini sehingga banyak tradisi yang kemudian harus ‘hilang’ karena dianggap sebagai bentuk paganisme atau penyembahan berhala.
Beberapa tradisi lain yang mampu bertahan tidak luput dari upaya modifikasi untuk alasan ‘penyesuaian’, salah satunya mangrara banua. Pelaksanaan upacara penahbisan tongkonan oleh gereja Toraja tidak lagi diawali dengan rangkaian tahap persiapan seperti ma’karenren atau ritual lainnya yang ditujukan pada arwah nenek moyang atau deata.
Dengan begitu, proses yang membutuhkan waktu bermingguminggu untuk Aluk Todolo, kini dapat dilaksanakan selama tiga hari saja melalui berbagai bentuk penyesuaian dari gereja Toraja. Tominaa (imam adat Aluk Todolo) seperti Ne’Tato yang bertugas melisankan narasi-narasi tentang penciptaan dan sejarah nenek moyang orang Toraja dalam upacara mangrara, kini harus rela perannya tergantikan oleh pendeta, dengan beberapa modifikasi dan penyesuaian dalam narasi lisan yang kini menjadi tulisan.
Pendeta Samuel yang sering kali ditugaskan untuk memimpin ibadah dalam proses upacara penahbisan tongkonan mengakui, setiap narasi atau doa-doa dalam upacara yang mengarah pada penyembahan dewa atau leluhur harus diubah menjadi penyembahan kepada Tuhan.
Peran gereja sebisa mungkin harus memfasilitasi berbagai bentuk upacara adat yang menjadi kebutuhan masyarakat adat Toraja. Perubahan pada bentuk tradisi mangrara banua memang menjadi hal yang mutlak, mengingat upaya modifi kasi bertujuan agar upacara ini dapat terus digelar.
Namun, terlepas dari segala bentuk kewajaran dari tradisi yang berubah, pengaruh kristenisasi tidak dimungkiri perlahan mengikis warisan tradisi lisan orang Toraja yang mewujud dalam doa-doa dan narasi lisan tominaa yang ikut hilang bersama penyembahan pada nenek moyang dan deata.
Tradisi lisan yang hadir dalam doa yang dituturkan tominaa sebelum masuk ke hutan dan menebang kayu untuk keperluan pembangunan tongkonan, atau narasi penciptaan manusia yang memuat sejarah lisan orang Toraja dan identitas mereka sebagai satu kelompok masyarakat adat, serta wujud relasi orang Toraja dengan Sang Pencipta dan alam semesta, kini tidak lagi hadir dalam gema sukacita pesta syukur tongkonan.
Namun, terlepas dari semua itu, ‘wajah baru’ mangrara banua tetap tidak meninggalkan keampuhannya untuk menghadirkan kehidupan baru bagi tongkonan. (M-4)
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/348110-ritual-penahbisan-rumah-adat-di-toraja
Kategori : Media Eksternal