Ritual Digital
BEBERAPA hari lalu, seorang kawan membagikan video di akun Facebook -nya. Dalam video itu, seorang perempuan dewasa yang berdiri di sebuah kursi panjang, jatuh terjengkang ketika hendak memotret makanan di atas meja sebuah warung makan. Kakinya tersangkut ke taplak sehingga menarik semua hidangan di meja tersebut. Alih-alih mengisi perut lapar, semuanya malah ambyar.
Adegan di atas mungkin pernah kita saksikan di tempat lain meski dengan skala kekonyolan berbeda. Adab dalam ritual makan yang semestinya diawali dengan cuci tangan dan doa, kini kerap diselingi memotret hidangan dan membagikannya di media sosial (kalau boleh jujur, sebagian di antara kita mungkin pernah melakukannya).
Atau contoh lain, mereka yang berangkat dan pulang kantor selalu bergantung pada aplikasi Waze . Padahal, itu rute rutin yang sehari-hari dilewati. Menghindari masalah tanpa sadar dia (dan mobilnya yang bongsor), juga ikut menyumbang sepersekian persen dari permasalahan di kota ini. Malas merenung, kurang kontemplasi. Mementingkan diri sendiri.
Berbagai perangkat yang dihasilkan dari revolusi digital, seperti smartphone, tablet, dan komputer, suka atau tidak suka kini memang telah berpengaruh pada perilaku manusia. Laku budaya masyarakat, baik digital native maupun digital immigrant , dua istilah yang digunakan pakar pendidikan dari Universitas Harvard, Marc Prensky, untuk membedakan keterkaitan manusia dengan teknologi saat ini, ikut berubah sejak hadirnya internet beserta produk turunannya.
Digital native merujuk pada mereka yang sejak lahir telah menikmati perkembangan teknologi internet dalam keseharian mereka. Sementara itu, digital immigrant merupakan gene rasi yang lahir sebelumnya, generasi analog yang kini mau tidak mau ikut menggunakan perangkat digital.
Jika Prensky lebih menitikberatkan perhatiannya pada kesenjangan antara dua generasi ini (terutama dalam pendidikan), dalam tulisan ini saya ingin memotret tentang perilaku generasi saya, para digital immigrant, yang mungkin ada di antara pembaca harian ini.
Harus diakui, mulanya saya juga gagap dengan perkembangan teknologi ini. Ketika diundang dalam sebuah grup Whatsapp teman di sekolah menengah, saya berpikir platform ini menjadi medium penyambung silaturahim untuk saling sapa setelah sekian lama tak bersua.
Namun, kenyataannya malah menimbulkan polarisasi lantaran ada saja satu atau dua anggota yang berdebat soal pilihan politik. Berbeda pilihan memang wajar dan sehat untuk demokrasi, tapi percuma jika ujung-ujungnya malah bertengkar. Anda barangkali juga pernah mengalaminya. Menjengkelkan memang.
Atau contoh lain, mereka yang sering tergesa membagikan tautan berita, tanpa mengecek kebenarannya. Jika ditegur alasannya dapat dari grup sebelah, sambil mengirim emotikon nyengir. Orang semacam itu memang berteknologi, tapi belum berpengetahuan. Seperti manusia purba yang baru menemukan teknologi pemantik api, tapi tidak tahu kalau api bisa digunakan untuk hal lain yang lebih berfaedah, membunuh bakteri.
Hadirnya era digital yang dilengkapi kecerdasan buatan, belum serta-merta membuat manusia jadi arif dan bijak. Kata Yuval Noah Harari, sejarawan dari Universitas Hebrew, Jerusalem, selama abad terakhir teknologi telah menjauhkan kita dari tubuh. Kita lebih tertarik apa yang ada di dalam ponsel atau komputer ketimbang yang terjadi di lingkungan sekitar.
Lebih mudah bicara dengan kawan di belahan dunia lain ketimbang dengan anggota keluarga di rumah karena masing-masing sibuk memelototi gawai. Saya pribadi pernah kena tegur anak bungsu saya lantaran terlalu asyik berselancar di dunia maya, tanpa memperhatikan apa yang dibicarakannya. Di situ kadang saya merasa sedih dan bersalah.
Di masa lalu, kata Harari lagi dalam bukunya, 21 Adab untuk Abad ke-21, manusia sulit melakukan kecerobohan semacam itu. Seorang pemburu kuno akan selalu waspada dan perhatian. Dia akan mendengarkan gerakan sekecil apa pun, apakah seekor ular atau babi bersembunyi di balik semak. Mereka juga akan hati-hati membedakan mana tanaman beracun dan yang tidak.
Manusia modern tidak sedetail itu. Mereka bisa berjalanjalan dan memilih barang di lorong supermaket sembari mengirim pesan. Tidak peduli barang yang dipilihnya sesuai kebutuhan atau malah sudah kedaluwarsa. Bahkan, yang lebih hebat lagi, mereka juga bisa ber-Whatsapp -an sambil nyetir, tanpa menghiraukan keselamatan diri dan pengguna jalan lain. Canggih kan?
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/348137-ritual-digital
Kategori : Media Eksternal