Rasan-rasan
CANGIK dan Limbuk bersibuk diri di pawon (dapur) di pondoknya yang mungil nan asri di pojok kawasan Istana Negara Amarta. Ibu bersama anak semata wayang itu berbagi pekerjaan memasak. Cangik menyiangi sayur-sayuran, Limbuk memarut kelapa untuk dibuat santan. Siang itu, mereka akan memasak sayur lodeh tujuh rupa. Untuk takjil berbuka puasa, mereka membuat getuk lindri dan minuman mpon-mpon.
Pihak istana untuk sementara meniadakan acara-acara yang mendatangkan banyak orang seperti pisowanan agung. Ini kebijakan negara guna memutus rantai penyebaran covid-19 yang sedang merebak. Jadi, kedua abdi dalem itu punya waktu lebih banyak di rumah. Mereka mengisi hari-harinya yang longgar dengan berbagai aktivitas, di antaranya memasak aneka menu makanan dan minuman kesukaan mereka.
Beruntung Cangik tidak begitu tertekan anggaran dapurnya terkait dengan kenaikan harga-harga pangan dan kebutuhuan pokok lain sebagai imbas merebaknya covid-19. Untuk kebutuhan sayuran, misalnya, ia memetik dari kebun sendiri serta memanen hasil tanaman peninggalan mendiang suaminya.
“Sedih yung (biyung/ibu) dengan menyebarnya covid-19 di negara kita. Dampaknya bukan hanya ancaman kematian bagi yang terjangkiti, tetapi juga berimbas pada ekonomi rakyat,” ujar Limbuk. “Rakyat banyak yang sengsara, kehilangan mata pencaharian,” lanjutnya.
“Saya juga merasakan seperti itu, ndhuk (gendhuk/panggilan sayang kepada anak perempuan),” kata Cangik. “Tapi, kita tidak boleh nelangsa dan hanya pasrah. Mari kita semua terus berikhtiar secara lahir dan batin agar pageblug ini segera berlalu.”
Akibat virus ganas itu, Limbuk pun terpaksa harus belajar di rumah. Pendidikan menari dan menembang pada setiap sore di bangsal samping sitinggil, yang diselenggarakan pihak keraton, untuk sementara ditiadakan. Maka, setiap malam menjelang, Limbuk belajar sendiri menari serta menembang berbagai gending, termasuk tembang-tembang macapat.
“Tapi begini ndhuk, di sisi lain dengan adanya pageblug ini kembali membangkitkan jati diri kita sebagai bangsa yang berwatak gotong royong,” ujarnya. “Memang agak aneh, perilaku mulia ini kerap munculnya ketika bangsa dan negara sedang dilanda masalah.”
“Betapa indah dan kuatnya bangsa ini jika gotong royong itu terus hadir atau langgeng dalam kehidupan kita ya, yung.”
“Iya, ndhuk. Semua bergerak bahu-membahu. Seperti saat ini ketika covid-19 sedang menjadi-jadi ini, tidak sedikit yang rela mempertaruhkan jiwa raganya, gugur memerangi wabah. Kita juga melihat banyaknya warga yang berbondong-bondong menyodorkan diri menjadi sukarelawan. Ini mengharukan,” tutur Cangik.
“Juga ada pula penggalangan dana di mana-mana, yung. Ada dari instansi, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi-organisasi lain. Ada pula perseorangan seperti para seniman, dengan caranya masing-masing.”
“Ini membesarkan hati kita,” kata Cangik.
“Itu yang disebut altruisme, yung.
“Eh… apa itu tadi ndhuk, altruisme? Artinya apa?”
“Mereka yang perilakunya lebih memperhatikan atau mengutamakan kepentingan orang lain. Atau mereka yang memiliki dorongan naluri untuk berbuat baik atau jasa kepada sesama, begitu yung.”
“Ndhuk, jangan menggunakan istilah yang membuat saya tidak paham. Biyung-mu ini kan orang kuna,” ujar Cangik sambil senyum.
Limbuk membalas mesem.
“Yung, kita juga melihat masih banyak yang berperilaku demikian itu di tengah-tengah masyarakat. Suka membantu yang lemah atau yang tertimpa musibah. Itu muncul tanpa pamrih. Mereka yang merasa mampu memberikan bantuan, misalnya berupa dana, sembako, dan materi lainnya kepada warga yang menderita.”
“Benar, ndhuk. Tanpa dikomando, mereka bergerak sendiri. Muncul dari hati nuraninya masing-masing. Mereka yang mampu menolong warga yang tidak mampu. Inilah budaya welas asih. Ini juga jati diri kita.”
“Iya, yung. Itu juga bukti bahwa kita juga tidak membeda-bedakan suku, golongan, dan keyakinan. Kita merasakan bersama, punya empati.”
“Ndhuk, ini nilai-nilai luhur yang bisa memperteguh persatuan kita sebagai bangsa. Kamu sebagai generasi penerus wajib memelihara nilai dan semangat itu. Jangan hanya berpikir untuk kebutuhan sendiri.”
Cangik kemudian merasani sebagian elite negara yang justru berperilaku kebalikannya. Tidak sedikit yang menguber kepentingan dan kenikmatannya sendiri. Jabatan atau kedudukan yang diamanahkan bukan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, tetapi untuk memuaskan nafsu destruktifnya.
Malah, keluhnya, banyak elite politik yang demi kepentingan sesaat tega berperilaku sok-sokan, mengobarkan perseteruan satu sama lain secara terbuka yang membahayakan persatuan bangsa. Tidak risih pula memproduksi fitnah dan kebencian yang dikatakan sebagai kritikan.
“Mengkritik itu kan berbeda dengan memfitnah, ndhuk,” tegas Cangik.
“Bedanya di mana, yung?”
Saat itu Limbuk telah merampungkan memarut kelapa. Lalu, kelapa parutan itu digerujuk air bersih dan kemudian diperas menjadi santan. Setelah itu ia menyiapkan bumbu lodeh dan diulek hingga lembut.
“Kritik itu baik, bahkan mulia. Oleh karena itu, kritik itu ada etikanya dan juga mesti bermoral. Misalnya, selain isi pesannya benar dan masuk akal serta ada alternatif-alternatif solutif. Cara menyampaikannya pun dengan baik, bukan mendungu-dungukan. Sedangkan memfitnah itu asal njeplak, sekadar berani ngomong, dan tidak ada kebenaran pesan.”
“Biyung kok pinter,” ujar Limbuk sambil nyengir.
“Kamu jangan ngenyek (meledek). Elek-elek (jelek-jelek) biyungmu ini tidak bodoh-bodoh amat. Paling tidak bisa merasakan kahanan (sikon).”
“Benar, yung. Di saat pemerintah sedang serius mengatasi pandemi covid-19 dengan mengeluarkan kebijakan penting, malah ada yang memerkarakannya ke hukum,” kata Limbuk. “Ada juga sejumlah elite yang terus-menerus menyalahkan apa pun yang dilakukan pemerintah.”
Menurut Cangik, para elite negara seharusnya malu dan juga bersedia belajar dari rakyat. “Semestinya kita bersatu padu menghadapi persoalan ini bersama-sama. Hilangkan ego atau kepentingan sesaat dan jangan pula malah memanfaatkan situasi ini sebagai panggung politik.”
Tak terasa hari menjelang sore. Sayur lodeh tujuh warna telah matang, begitu juga nasi menthikwangi. Sambel terasi serta lauk tahu-tempe bacem dan kerupuk gendar juga telah di atas meja. Takjil getuk lindri dan minuman mpon-mpon pun siap disantap.
Sambil menunggu datangnya waktu berbuka puasa, Cangik dan Limbuk beres-beres dapur serta menyapu halaman pondok. Ayam-ayam pun bergegas masuk ke kandang masing-masing. (M-2)
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/309730-rasan-rasan
Kategori : Media Eksternal