Peneliti Dorong Pemerintah RI Bentuk Tim Investigasi Independen Internasional ke Xinjiang
Luwuk.today, Jakarta – Peneliti Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat, mengimbau agar Pemerintah Indonesia mengambil peran strategis dalam menangani pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di Xinjiang. Peran itu bisa berupa pembentukan tim investigasi independen internasional ke Xinjiang.
Peran itu, kata Papang selain sesuai dengan konstitusi, juga karena Indonesia merupakan Anggota Dewan HAM sekaligus Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB.
“Ada UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa warga negara Indonesia berhak melakukan mekanisme internasional membela HAM,” ungkapnya , dalam diskusi yang digelar Forum Jurnalis Muslim (FORJIM) di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Baca Juga: Pelanggaran HAM terhadap Uighur Terkatagori Papan Atas
Untuk melaksanakan peran itu, Papang mengusulkan agar dibentuk Tim Investigasi Independen Internasional ke China. Tim ini sama dengan yang pernah dibentuk untuk kasus Myanmar maupun Palestina.
“Saya usul, jika diterima anggota tim ini adalah Marzuki Darusman, Makarim Wibisono, dan Kemala Chandra Kirana. Ketiganya pernah terlibat HAM internasional,” kata Papang.
Sikap lainnya, untuk membantu Uighur, adalah mendesak agar pemerintah bersikap lebih keras. Setara dengan sikap pemerintah terhadap isu pelanggaran HAM di Palestina yang diokupasi Israel atau terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
Selanjutnya, pemerintah juga diminta bila ada kelompok Muslim Uighur atau komunitas lainnya yang memimta suaka politik di Indonesia tidak boleh dideportasi.
Papang mengungkap, sepengetahuan dia pernah ada warga Palestina yang berkeinginan meminta suaka politik ke pemerintah Indonesia. Bukannya diterima, malah dideportasi.
Baca Juga: KH. Zaitun Rasmin: Muslim Uyghur Harus Dibela
“Ini Palestina, apalagi Uighur yang (tingkat pelanggaran HAM-nya) lebih rendah (dari Palestina),” kata dia.
Selanjutnya, Papang mendorong adanya kerja sama dengan berbagai kalangan untuk mengangkat persoalan Uighur. Untuk Indonesia, kata dia, hal ini lebih mudah diterima karena adanya persamaan keyakinan (Islam, red). Tapi, hal itu dipandangnya belum cukup.
“Perlu perluasan aliansi dengan kelompok sipil lainnya. Harus ada aliansi untuk mengangkat isu ini,” pungkasnya. []