Paradoks dalam Realitas Covid-19
FILSAFAT tidak membuat roti. Kredo itu begitu tertanam bagi para pengkaji fi lsafat akademis. Mereka paham bahwa fi lsafat tidak berkenaan dengan hal teknis. Filsafat tidak memahami bahan, cara, ataupun tahapan dari pembuatan roti.
Begitu pun ketika membaca karya seorang fi lsuf soal covid-19. Bayangan pertama bukan pada solusi praktis jangka pendek. Bukan soal vaksin, antibodi, cara menghentikan penyebaran virus, ataupun cara agar orang tetap di rumah. Terlalu naif membayangkan fi lsafat berkutat dengan hal semacam itu.
Pandemic! Covid-19 Shakes the World, begitu judul buku karya Slavoj Žižek. Filsuf Slovenia itu mengetengahkan paradoks dari kenyataan covid-19. Pada pembukaan buku, ia menulis ‘Introduction; Noli Me Tangere’ yang berarti ‘Jangan Sentuh Aku’. Kalimat itu disampaikan Yesus kepada Maria Magdalena ketika Maria mengenali Yesus seusai kebangkitan.
Satu bagian itu menjadi awalan cukup menarik. Covid-19; jika sayang kerabat, jangan kunjungi. Jika cinta orangtua, jangan mudik. Gampangnya, paradoks yang digagas Zizek hampir semacam kalimat ‘cinta tak harus memiliki’, ‘sayang tak harus bersama’, ‘kasih tak harus berbalas’, dan semacamnya.
Buku ini terdiri atas 10 bagian. Zizek banyak membahas dampak covid-19 pada beberapa bagian awal. Tiba-tiba saja dunia tersungkur. Semua yang awalnya dibanggakan tiba-tiba rapuh, dari kekuatan ekonomi, kesehatan, pangan, negara sekutu, bahkan kemanusiaan. Seluruh dunia merasakan dampaknya.
Virus korona juga memicu epidemi virus ideologis yang tertidur di masyarakat, seperti berita palsu, teori konspirasi, paranoiac, dan rasialisme. Ia juga mengetengahkan standar ganda yang marak saat ini. Meremehkan korona sembari bersiap melindungi diri secara berlebih. Entengkan korona, tapi timbun bahan makanan dan alat kesehatan. Tentu hal itu bisa memicu kemarahan publik.
Komunisme kontemporer
Serasa cukup dengan paparan dampak covid-19 yang menjungkirbalikkan keadaan masa kini, Zizek lalu memulai dengan pertanyaan. “Satu pertanyaan menarik akibat epidemi virus korona, bahkan untuk yang tidak ahli dalam statistik seperti saya, ialah: di mana data berakhir dan ideologi dimulai?” ujar Zizek (hlm 59).
Solusi teknis mungkin tidak. Zizek bergerak lebih jauh, ia menawarkan komunisme untuk penanganan pandemi. Ia mengandaikan seluruh negara bersatu padu untuk mengatasi pandemi global. Saling berbagi dan membantu. Ia menganalogikan pandemi ini selayaknya perang besar melawan covid-19. Alat kesehatan, misal ventilator, ialah senjata yang dibutuhkan di medan perang.
“Itu juga membutuhkan kerja sama dengan negaranegara lain. Seperti dalam operasi militer, informasi harus dibagikan dan rencana dikoordinasikan sepenuhnya. Ini semua saya maksudkan dengan ‘komunisme’ yang dibutuhkan saat ini,” tegasnya (hlm 67).
Tentu saja, Zizek tidak memaksudkannya sebagai komunisme-kuno. Ia mengajukan ideologi komunisme kontemporer, yakni dengan adanya organisasi global yang mengatur seluruh negara. Tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga masalah kedaulatan.
“Bukankah semua ini menandakan perlunya reorganisasi ekonomi global yang tidak lagi bergantung pada mekanisme pasar? Di sini, kita tidak berbicara tentang komunisme gaya lama, tentu saja, hanya tentang semacam organisasi global yang dapat mengendalikan dan mengatur ekonomi, serta membatasi kedaulatan negara-bangsa ketika dibutuhkan. Negara-negara dapat melakukannya dalam kondisi perang, dan kita sekarang mendekati keadaan perang medis secara efektif,” tambahnya (hlm 44-45).
Menurutnya, dunia saat ini dihadapkan pada beberapa kemungkinan, pengorbanan dari masyarakat yang terlemah karena keterbatasan sumber daya kesehatan, kebijakan yang membuka ruang untuk korupsi besar-besaran, dan penerapan logika brutal ‘yang kuat yang bertahan’.
“Jadi, sekali lagi, pilihan yang kita hadapi ialah: barbarisme atau semacam penciptaan kembali komunisme,” (hlm 70). Kita bisa setuju, bisa juga tidak, dengan pendapat Zizek. Paling tidak, buku ini menawarkan cara pandang tersendiri dalam melihat pandemi yang tengah menjungkirbalikkan keseharian banyak orang. (M-2)
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/309483-paradoks-dalam-realitas-covid-19
Kategori : Media Eksternal