Media Eksternal

Membangun Dialog dalam Tradisi Legislasi


TERLEPAS  kekurangan RUU Omnibus Cipta Kerja, RUU ini memberikan harapan besar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam menghilangkan birokrasi rente, sebagai penghambat akselerasi pemerintahan dalam pelayanan perizinan dan pelayanan nonperizinan selama ini.

Penyederhanaan pelayanan dalam RUU Cipta Kerja dilakukan melalui pergeseran wewenang dari kementerian dan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat (presiden) sehingga memperpendek jalur birokrasi. Demikian halnya dengan problem obesitas peraturan pusat, kementerian dan daerah yang mengakibatkan tumpang tindih bahkan telah melahirkan ego sektoral.

Dengan menyederhanakan peraturan dan menciptakan debirokratisasi, RUU Cipta Kerja dapat menyumbat potensi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagaimana diketahui bersama bahwa kanal korupsi dan gratifikasi lahir dari ‘rahim’ birokrasi yang terlalu panjang  dan berbelit-belit dalam pelayanan baik perizinan maupun nonperizinan.

 

Dari 11 klaster RUU Cipta Kerja, materi yang sangat kontroversial adalah klaster ketenagakerjaan. Hampir seluruh serikat pekerja melakukan penolakan. Adapun alasannya tidak hanya materi seperti, hilangnya Izin Mempekerjakan Tenagakerja Asing (IMTA), potensial hilangnya tenaga kerja tetap, lebih mengutamakan kerja kontrak  dan outsourcing, hilangnya upah minimum kabupaten/kota, semakin mempermudah PHK, hak cuti tanpa pembayaran, dan lain sebagainya. Buruh juga menyayangkan pembahasan RUU Cipta Kerja dilaksanakan dalam suasana kegentingan virus Corona. 

Pergumalan diskurus tentang pembahasan RUU Cipta Kerja, pada akhirnya disambut Presiden Jokowi pada tanggal 24 April 2020, dengan menyampaikan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan. Presiden juga menyatakan  bahwa  “Penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam rangka mendalami substansi dari pasal-pasal terkait, dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari pemangku kepentingan”.

Berdasarkan hal tersebut, klaster ketenagakerjaan tetap dibahas di akhir setelah 10 (sepuluh) klaster yang lainnya telah selesai dibahas, sehingga klaster ketenagakerjaan tidak dicabut dalam RUU Cipta Kerja. Dengan demikian dapat terjadi beberapa kemungkinan. Pertama, pembahasan tetap dilaksanakan hingga akhir tahun siding. Jika tidak sesuai target pemerintah dalam 100 hari atau melampaui akhir tahun sidang, maka RUU Cipta Kerja dilanjutkan menjadi prioritas tahun berikutnya. 

Kedua, pemerintah sebagai pengusul dapat mencabut klaster ketenagakerjaan sebelum pembahasan bersama DPR. Ketiga, DPR dalam pembahasan menolak klaster ketenagakerjaan pada pembahasan Tingkat II dalam sidang paripurna. Artinya menyepakati RUU Cipta Kerja dengan menolak klaster ketenagakerjaan.

Harapan besar dari pemerintah, penundaan klaster ketenagakerjaan dapat membuka ruang bagi semua pihak untuk memberikan masukan secara konstruktif terhadap materi-materi ketenagakerjaan, tentunya bukan berarti klaster lain tidak ada ruang pendapat publik. Semoga ini menjadi momentum yang baik bagi tradisi legislasi di Republik ini, membuka kanal peran aktif rakyat untuk berkontribusi dalam pembahasan RUU.

 

Momentum dialog dalam proses legislasi adalah langkah maju, agar produk legislasi dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan bagi rakyat, untuk menghasilkan produk hukum yang responsif dan dan adaptif terhadap kepentingan kebangsaan. Perbedaan pandangan dalam negara demokrasi adalah prasyarat mutlak. Demokrasi sesungguhnya alergi dengan pendapat tunggal, sehingga energi demokrasi akan tumbuh dan berkembang dalam dialektika perbedaan gagasan bahkan kritik.

Tradisi dialog dengan berbagai kepentingan dalam legislasi dirasakan kurang, sebagaimana ditunjukan dalam berbagai orkestrasi penolakan pada sejumlah RUU di masa lalu, padahal kanal dialog dibuka lebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dialog bukan hanya formalisme layaknya dramatisasi dalam sebuah orkestrasi, tetapi hal ini merupakan keyakinan bersama, bahwa peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan perundang-undangan yang lebih banyak merespon aspirasi rakyat, karena aspirasi merupakan bagian dari kesadaran hukum rakyat (conscience).

Memperhatikan urgensi simplikasi dan debirokratisasi dalam investasi dan percepatan perizinan di bidang usaha, sebaiknya klaster ketenagakerjaan dicabut dari RUU Cipta Kerja, baik itu oleh pengusul (pemerintah) atau diusulkan oleh DPR dalam pembahasan. Klaster ketenagakerjaan dijadikan agenda pembahasan dalam RUU terkait, yaitu perubahan UU Ketenagakerjaan di tahun sidang berikut atau jika dimungkinkan menjadi skala prioritas tahun sidang 2020.

Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/309348-membangun-dialog-dalam-tradisi-legislasi

Kategori : Media Eksternal

Related Articles

Back to top button