Komposisi untuk Para Ibu
Pertunjukan musik ini tidak selazimnya pentas musik kebanyakan. Jika biasanya pentas musik dihiasi dengan alat musik, kali ini hanya ada suara-suara vokal dari tiga musisi dan seorang aktor. Sang pengaba bersila di muka sembari memandu vokal para musisi.
Suara-suara itulah yang menjadi komposisi indah dari pertunjukan musik Jeng Sri (Ngangon Kaedan 3) karya komposer Gema Swaratyagita dalam rangkaian Musim Seni Salihara. Pertunjukan berlangsung daring lewat akun Youtube Salihara Arts Center hingga 27 September 2020.
Pertunjukan musik itu menampilkan komposisi yang memadukan suara vokal, seni pertunjukan hingga penggunaan alat bebunyian tak biasa, seperti peralatan memasak, padi, beras, hingga sayur-mayur.
“Konsep komposisinya mengangkat peristiwa nutung anyaran yang berarti menumbuk padi setelah panen hingga dihidangkan,” ujar Tony Prabowo dalam pengantar pentas.
Gema sendiri mengungkap karyanya tersebut merupakan seri ketiga dari Ngangon yang disebutnya sebagai dongeng anak. Sebelumnya, seri pertama berjudul Dongeng Polifoni. Kedua, berjudul Ruang Rahim. Barulah, seri ketiga berjudul Jeng Sri.
Komposer itu juga mengungkap ide mula Jeng Sri. Berawal dari penglihatannya tentang sosok Dewi Sri.
“Awalnya sebetulnya saya lebih melihat Jeng Sri dari beberapa sisi dan sudut pandang. Saya melihatnya, pertama, Dewi Sri sebagai Dewi Padi, Dewi kesuburan. Di sisi lain lagi, dia sebagai Dewi Ibu,” ungkapnya.
Dari situ, ia mencoba untuk mengulik dan meriset tentang proses padi, dari mulai memanen hingga penyajian. Penelusuran Gema pun sampai pada proses nutung anyaran di Kasepuhan Banten Kidul Ciptagelar.
“Saya ternyata menemukan ada proses nutung anyaran, dari mulai habis panen sampai menghidangkan nasi. Itu dilakukan oleh para ibu. Mengapa para ibu? Itulah yang ternyata yang menjaga, seperti Dewi Sri. Dewi Sri kan sosok yang menjaga seisi Bumi. Sama seperti simbol ibu yang menjaga keluarganya. Istilahnya sama seperti Dewi Sri, menjaga seisi Bumi,” lanjutnya.
Ia lalu mengontekskan dengan kehidupan para ibu. Jeng Sri adalah Dewi Sri, sebagai pertama, Dewi Padi. Di sisi lain, ia adalah Dewi Ibu yang menyuarakan suara para ibu.
Selain menjaga dan merawat keluarga, para ibu juga bekerja. Hingga pada akhirnya, ada yang terlupakan dan tidak terungkapkan hingga bisa berakibat pada kesehatan mental.
“Jadi akhirnya saya membuat sosok Jeng Sri ini sebagai tempat menyuarakan suara para ibu. Jadi Jeng Sri ini sahabat para ibu,” kata dia.
Berbincang tentang proses, karya itu tidak langsung lahir dari studio, tetapi ada proses partisipatif yang melibatkan para ibu. Gema menanyakan apa yang hendak dikatakan para ibu ketika bertemu dengan Jeng Sri sebagai jelmaan dari Dewi Sri. Hasil itulah yang kemudian dimasukkan dalam pentas sebagai vokal. Ada kata-kata saat pertunjukan yang berasal dari proses partisipatif para ibu seperti ‘saya capek tapi bahagia, saya harus mengorbankan hidup dan karier saya’.
“Jadi pengolahan bunyi dan kata di situ,” ucapnya.
Awalnya, ia hendak memisahkan peran Dewi Sri menjadi dua alur. Ia urung. Sebagai gantinya, ada dalam bagian pertunjukan musik ketika salah satu pemeran vokal memasak bubur. Gema memaknai bubur sebagai sesuatu yang lengket dan melekat. Seperti peran dewi padi dan dewi ibu yang tak terpisahkan, begitulah seorang ibu.
“Itu sudah melekat dalam kehidupan bahwa kita memang sudah harus mengayomi kehidupan baik sebagai Dewi Sri maupun kita sebagai ibu,” ujarnya.
Karya Gema memuat pesan betapa menjadi ibu tidak gampang. Perlu ada dukungan dari yang terdekat. Di sisi lain, jika para ibu memang perlu berkeluh kesah dan bercurah hati, lakukanlah.
“Secara konteks, menyuarakan suara-suara para ibu. Jadi dipersembahkan untuk para ibu, bahwa kita dalam merasakan sesuatu, keluh kesah apapun, kita harus mengungkapkan ke orang lain. Women supporting women,” pungkas ibu dari dua batita itu. (M-2)
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/348315-komposisi-untuk-para-ibu
Kategori : Media Eksternal