Kokohkan Fungsi dan Peran Keluarga Melalui Undang-Undang Ketahanan Keluarga

Luwuk.today, Opini – Kokohkan Fungsi dan Peran Keluarga Melalui Undang-Undang Ketahanan Keluarga
Oleh: Budi Handrianto
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa “barji barbeh“. Bukan peribahasa, tapi sebuah singkatan, yaitu bubar siji bubar kabeh. Artinya, kalau satu bubar, lebih baik bubar semua. Ada lagi ungkapan yang mirip yaitu “tiji tibeh“, mati siji mati kabeh. Jika seseorang rusak, ia tidak mau ada orang lain yang masih baik. Jika ia kalah, ia tidak mau ada yang menang.
Di era yang penuh fitnah ini, terutama kehidupan di perkotaan, tidak mudah menjaga diri dan keluarga dari kerusakan moral. Sebab, tantangannya demikian dahsyat. Keluarga, sebagai instrumen pertahanan terakhir masyarakat, sedang dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Siapa yang merusak dan siapa yang dirusak? Seperti ungkapan Jawa di atas, yang merusak adalah mereka yang kehidupannya sudah rusak dan yang dirusak adalah mereka yang kehidupannya masih baik. Lebih khusus lagi, karena peran perempuan terutama ibu dalam keluarga itu sentral, maka yang dirusak adalah kaum ibu.
Fitrah seorang ibu adalah menjadi pengayom bagi keluarga. Dengan didikan dan kasih sayang seorang ibu, anak tumbuh menjadi orang yang kuat jasmani rohani, menjadi seorang yang dewasa, bertanggung jawab, cerdas dan beradab. Mengapa bisa demikian? Karena seorang ibu fokus dalam mendidik anak. Tidak saja terhadap anak, seorang ibu yang juga seorang istri mendukung karir atau usaha suaminya sehingga keluarga menjadi harmonis. Ibulah faktor utama pemersatu keluarga. Itulah mengapa peran seorang ibu demikian besar sehingga disebut sebagai tiang negara. Wajar, jika seseorang ingin menghancurkan suatu negara, ia akan merusak peran ibu dalam masyarakat terlebih dahulu.
Peran dan fungsi ibu, terutama di perkotaan sudah banyak bergeser dari kodratnya. Paham materialisme, liberalisme, hedonisme, feminisme, sekularisme dan sebagainya telah merusak peran dan fungsi keluarga terutama seorang ibu. Banyak rumah tangga telah diporakporandakan oleh paham-paham ini. Keluarga menjadi hancur, suami selingkuh dibalas selingkuh oleh istrinya, anak tidak terurus kemudian terjerat narkoba, suasana rumah bagaikan neraka dunia sehingga semua tidak betah tinggal di rumah. Rumah hanya diisi oleh pembantu rumah tangga dan tukang kebun yang menikmati fasilitas milik tuannya yang jarang tinggal di rumah.
Lalu, ada sekelompok ibu-ibu shalihah yang berjuang melawan hegemoni paham-paham tersebut yang merusak dan berusaha mengembalikan peran dan fungsi keluarga sesuai fitrahnya. Mereka menempuh segala cara, termasuk saat ini dengan menyusun suatu Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU KK). Ibu-ibu ini berjuang melalui jalur legislasi agar keluarganya terhindar dari kerusakan moral.
Namun perjuangan ibu-ibu yang notabene tidak hanya untuk keluarganya sendiri tapi juga keluarga-keluarga di seluruh negeri mendapatkan hambantan dari sebagian kaum wanita sendiri. Mereka ini -yang sejatinya sedang ditolong nasibnya, tidak ingin sebuah keluarga hidup menjadi harmonis, sakinah mawaddah wa rahmah. Mereka berusaha untuk tetap berada dalam kerusakan dan jangan sampai ada perbaikan. Mereka berusaha “membunuh” upaya kebaikan tersebut dengan membully, mencerca, menghina, mengkampanyehitamkan, mendelegitimasikan dan mencegahnya agar RUU tersebut gagal menjadi UU.
Terhadap kondisi ini, saya ingin mengutip perumpamaan yang dibuat Pak Kiki Syahnakri di Harian Suara Merdeka beberapa waktu lalu berjudul “Beramai-ramai Membunuh Kebenaran, Agar Bersama-sama Hidup dalam Aib”. Tulisan ini, menurut saya, cocok menggambarkan kondisi tersebut di atas.
Tentara musuh memasuki sebuah desa. Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.
Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi. Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.
Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini?” Ia menjawab: “Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan.”
Para wanita itu awalnya mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini.
Mereka kawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda…?”
Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak. Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando.
Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.
Beginilah keadaan saat ini. Ada orang-orang yang terlanjur rusak. Mereka mencela, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten menegakkan kebenaran, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik.
Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidakberdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata.
Sebelum terlambat, mari pastikan diri kita berani berpihak kepada KEBENARAN.
Jadi, jangan seperti ungkapan di atas, “Barji barbeh, tiji tibeh“. Mari kita dukung RUU Ketahanan Keluarga. (Budi Handrianto, Sekretaris Program Doktor Pendidikan Agama Islam Unkversitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor).