Karas-Karas dan Banyak Hal yang (mungkin) Akan Punah
Penulis : Fatwa Pertiwi Djalal
Luwuk Today, Saya menulis ini sambil membayangkan minum bergelas-gelas machiato double shoot dan makan donat almond
Saya suka melihat seorang ibu muda di depan rumah tempat saya tinggal. Kesehariannya seperti ibu lain di desa. Ia memotong kayu api, memanjat cengkih dan memikulnya dari hutan. Ia melakukan pekerjaannya dengan merokok. Meski begitu, ibu muda itu begitu telaten dan sabar mengurus anak balitanya.
Hati saya senang, setiap melihat ia bersemangat menjemur cengkih pagi hari, sambil menemani anaknya bermain. Begitu juga sore hari, sepulang dari hutan ia akan bercerita sambil tertawa. Sepertinya memang hidup yang dijalaninya tak serumit apa yang ada dalam pikiran orang-orang di kota.
Rumah yang saya maksud, adalah rumah yang jauh dari rumah. Hampir dua bulan ini, saya menempati rumah yang bukan tempat pulang, ketika saya ingin menangis dan mengeluh. Sementara saya, beralamat di Mansalaen. Desa yang letaknya hampir dua jam perjalanan, dengan menumpang kapal kayu yang padat dan terkadang sesak, adalah “rumah” yang saya maksud. Jauh dari bising kota, bahkan hampir tiga minggu ini listrik yang ditunggu setiap petang, tidak lagi bertamu di rumah warga. Tidak ada es kopi atau batagor untuk jajan sore, tapi selalu ada roti kampung hangat setiap siang, juga tawaran teh manis dari warga.
Ketika tiba pertama kali, segala hal baik tentang laut ikut serta. Panas matahari dan siang yang terik, serta bau udara yang bercampur wangi cengkih tiba di indra penciuman saya. Di Mansalean harapan bangun lebih pagi, tetapi banyak mimpi yang tidak tidur tepat waktu, pergi berlayar dengan kayuh perahu yang membawa banyak asa. Pertama kali menyeberang, saya panik karena kapal terasa begitu goyah. Seorang ibu berkata, dengan nada biasa. “Di sini, kalau kapal masih bisa menyebrang, berarti belum ada ombak, kalau musim ombak kapal tidak bisa menyeberang.” Perasaan panik dan lucu bercampur-campur.
Malam-malam di Mansalean adalah langit yang telanjang, seluruh bintang terlihat jelas. Warganya pun adalah orang-orang santun yang menyenangkan. Setiap kali membuka obrolan dengan orang-orang di sini, saya ditawari untuk singah di rumahnya, dan akan dibuat goreng (sebutan untuk pisang dan ubi goreng).
Saya terkesan, mendengar tentang Maulid Nabi Muhammad SAW yang akan disambut dengan suka cita. Belakangan, anak-anak muda dan ibu-ibu selalu membicarakan tentang acara maulid nabi. Dari perbincangan itu saya tahu, akan ada pembuat kue karas-karas, kue yang bahan baku utamanya dari beras. Semua rumah di desa akan menyediakan kue itu. Menurut cerita, kue karas-karas disediakan, karena dulu orang-orang belum punya uang untuk membuat kue yang berbahan dasar tepung terigu, maka orang membuat kue berbahan dasar makanan sehari-hari (beras). Sambil menumbuk beras, orang akan menyenandungkan ridan. Jika ode dinyanyikan dengan syair yang sedih, maka ridan akan dibuat lebih riang. Maulid berarti aktivitas membalas pantun, dan mengantar kue karas-karas ke masjid.
Ada hal lain di desa ini yang tidak bisa disebut, rasa sayang antar warganya. Semisal ada seorang pemuda yang ingin menikah, warga desa akan patugan mengumpulkan uang untuk membuat hajatan (mansai), maka dari itu pesta pernikahan di Mansalean adalah perayaan untuk semua warga desa tanpa terkecuali. Kerja sama dilakukan dengan ikhlas. Tidak ada atas nama persahabatan atau semacamnya, tidak juga ada kata-kata saling sayang, mereka melakukannya dengan kepedulian penuh tanpa kata.
Desa yang jauh dari ribut-ribut kota ini, meningalkan banyak hal di belakang. Seperti penuturan bahasa Banggai yang saat ini hanya dituturkan oleh orang-orang tua, tidak ada anak-anak yang mengunakan bahasa asli sebagai bahasa sehari-sehari. Tidak ada lagi permainan tradisonal seperti sesenge (jengket), hadang, bia-bia. Perhatian anak-anak semuanya tergerus, masa lalu digantikan gawai.
Katanya, banyak hal hilang di sini, banyak pula yang ditinggalkan, tidak semua bisa digantikan dengan yang baru, tetapi apa pun yang sudah tak ada dari Mansalean, semoga segala yang baik selalu menyala.