Jelang Ramadhan, Segera Bayar (Qadha) Hutang Puasa
Luwuk.today, Islam – Salah satu amalan penting yang perlu diperhatikan menjelang Ramadhan adalah memastikan, hutang puasa pada tahun sebelumnya telah dibayar (qadha). Walaupun menyegerakan qadha puasa pasca Ramadhan lebih afdhal.
Namun, kalau tidak sempat mengqadha, entah karena sakit, nifas, safar, atau udzur yang masih berlanjut maka diberi kelonggaran untuk mengakhirkan qadha hingga bulan Sya’ban.
Persoalannya adalah bagaimana jika memasuki bulan Ramadhan, dan belum meng-qadha puasa pada Ramadhan yang lalu?
Tulisan ini akan menguraikan secara singkat persoalan hutang puasa yang belum di-qadha, lalu masuk lagi bulan Ramadhan.
Bagi yang menunda qadha puasa Ramadhan lalu, kemudian datang Ramadhan berikutnya, maka ada dua keadaan dan dua sebab!
Pertama, penundaan tersebut terjadi karena udzur syar’i (alasan syar’i) yang masih berlanjut seperti sakit, hamil, nifas, menyusui, atau safar. Maka tak mengapa, ia cukup meng-qadha setelah Ramadhan. Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab orang yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur yang menyebabkan ia menunda qadhanya.
Kedua, penundaan itu dilakukan tanpa udzur syar’i. Jika penundaan terjadi tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat maka (menurut mayoritas Ulama) Setelah berpuasa Ramadhan ia harus mengqadha puasa Ramadhannya yang lalu dan membayar kaffarat (denda). Misalnya, si fulanah memiliki utang puasa Ramadhan 1434 H. Ia belum mengqadhanya tanpa ada udzur syar’i hingga masuk Ramadhan 1435 H. Maka, setelah menunaikan puasa Ramadhan 1435 H, ia harus mengqadha puasanya pada ramadhan sebelumnya disertai membayar kaffarat (denda). Hal ini didukung oleh pendapat sejumlah shahabat semisal Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Adapun kaffaratnya berupa fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang dia tinggalkan (tidak berpuasa).
Haruskah Berturut-Turut ?
Penulis Kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd rahimahullah dan sebagian Fuqaha (ahli fiqh) mewajibkan qadha puasa dilakukan berurutan seperti pelaksanaannya saat ada’ (dikerjakan pada waktunya). Sebagaimana puasa Ramadhan dilakukan dengan berurut,maka qadhanya pun harus dilaksanakan secara berurutan.Misalnya si fulan memilki utang puasa tiga hari,ketika mengqadhanya dia harus berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Sebagian ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa boleh melakukan puasa qadha tanpa berurutan.
Yang rajih (kuat) –wallahu a’lam– adalah dibolehkan dengan cara tidak berturut-turut, karena ayat mengenai ini tidak menyebutkan harus berturut-turut, tapi Allah menyebutkan secara umum, sehingga hal ini menunjukkan bolehnya mengqadha dengan cara tidak berturut-turut. Namun, lebih utama adalah mengqadhanya secara berturut-turut, karena memang seperti itulah puasa yang diqadhanya.Hari-hari yang dilewatinya tanpa berpuasa tersebut secara berturut-turut, maka qadhanya pun berturut-turut pula.
Jika Tidak Mampu Mengqadha Sama Sekali
Permasalahan ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Bin Baz Rahimahullah. Penanya adalah seorang wanita yang sakit. Beliau mengatakan,“Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari pada bulan Ramadhan yang lalu.Karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?”
Syaikh menjawab, orang sakit yang mengalami kesulitan jika berpuasa disyariatkan untuk tidak berpuasa. Lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya,berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185).
Oleh karena itu Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini, jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah bagi orang sakit dan orang sedang dalam perjalanan (musafir). Allah itu senang jika rukhsah-Nya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.
Meninggal sebelum Qadha
Orang yang meninggal dan masih memiliki hutang puasa tidak lepas dari dua keadaan.
Pertama, meninggal sebelum memiliki kemampuan dan kesempatan untuk berpuasa. Misalnya karena faktor waktu yang sempit sehingga tidak sempat berpuasa, karena sakit, safar, atau karena tidak mampu berpuasa. Maka dia tidak memiliki kewajiban apa-apa. Begitu pun ahli warisnya, tidak berkewajiban untuk membayar (qadha) kan puasanya. Sebab ia meninggal (sebelum qadha) karena sempitnya waktu atau udzur yang masih berlanjut. Ini merupakan pendapat kebanyakan ahli ilmu.
Kedua, meninggal setelah memiliki kemampuan dan kesempatan untuk qadha. Artinya dia menunda qadha tanpa udzur syar’i. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi keluarga yang ditinggalkan untuk membayarkan hutang puasanya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Barangsiapa yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka wali (keluarganya) berpuasa untukya.” (Muttafaq ‘alaihi).
Dalam hadits lain Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, seseorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki utang puasa selama sebulan. Apakah saya meng-qadha-kan puasanya? Nabi menjawab,
“Jika ibumu memilki hutang, apakah engkau membayarkan utangnya? Bayarkanlah (qadhakanlah) hutang puasanya. Karena hutang kepada Allah lebih berhak ditunaikan”. (HR. Muslim).
Demikian penjelasan singkat berekenaan dengan qadha puasa bagi yang memasuki Ramadhan dalam keadaan membawa utang puasa pada Ramadhan sebelumnya yang belum diqadha. Wallahu a’lam bis Shawab. (sym)
Tulisan ini pernah dipubslih di webiste: https://wahdahjakarta.com/ramadhan-kian-mendekat-segera-qadha-hutang-puasa/