Luwuk.today, Jakarta – Pernyataan dan kritik kepada Kemenag. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, para warganet yang terhormat, insya Allah pada kesempatan menjelang shalat Jumat ini saya akan menyampaikan isi pernyataan dan kritik saya dalam Raker Komisi 8 DPR RI kemarin bersama Kemenag RI.
Video selengkapnya bisa dilihat disini: https://youtu.be/KOB0x1_L0kE
Pertama-tama saya membuka pernyataan saya dengan basmalah dan shalawat, karena keduanya adalah hal yang baik dan bermanfaat.
Saya menyampaikan selamat bekerja bagi Pak Menteri dan Pak Wakil Menteri. Keduanya adalah sejoli yang saling melengkapi.
Kalau kita baca sejarah kementerian agama, saat berdirinya Kemenag pada tanggal 3 januari 1946, faktanya Kemenag ada untuk mengokohkan soliditas berbangsa dan bernegara dg mengapresiasi jasa Umat Islam, untuk mendahulukan Indonesia yg merdeka dan tetap bersatu dan tak terpecah belah. Itu sebagaimana dilakukan oleh 4 tokoh Islam, yg merelakan 7 kata dalam Piagam Jakarta diganti menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.
Maka seharusnya Kemenag itu hadir untuk memberikan solusi, mengokohkan persatuan bangsa. Tidak untuk menghadirkan kegaduhan-kegaduhan yg tak diperlukan, seperti polemik soal radikalisme dll.
Kemudian kebetulan Menag pernah menjadi Wakil Panglima ABRI, maka dahulu Jenderal Besar Soedirman adalah santri, dari komunitas pesantren, komunitas Islam (Pemuda Muhammadiyah), jasa beliau sangatlah besar dalam mempertahankan eksistensi negeri ini. Beliaulah yg disebut sbg Pendiri TNI dan Panglima Besar TNI. Padahal latar belakang beliau adalah Santri.
Maka diharapkan perpaduan antara Pak Menteri dan Pak Wakil Menteri dapat merealisasikan pelajaran dari sejarah bangsa ini serta menjadikannya bingkai dalam perjalanan Kemenag.
Tentunya isu teraktual saat ini adalah mengenai radikalisme dan terminologinya, yang cukup menimbulkan polemic dan debat berkepanjangan.
Kawan-kawan Komisi VIII DPR sudah membahas dari beragam pendekatan, intinya banyak yang menyimpulkan bahwa radikalisme akarnya tidaklah ‘tunggal’. Maka jadi aneh kalau radikalisme, yg tanpa batasan itu, ditudingkn kpd Ustadz, Cadar, celana cingkrang, ceramah agama Islam.
Apalagi para elit pimpinan negara ini belum juga sepakat mengenai terminology radikalisme.
Pak Mahfud MD pernah menyampaikan bahwa urusan pakaian dan melaksanakan ajaran agama bukanlah radikalisme, tetapi Islamisme. Radikalisme menurut beliau adalah kelompok yang ingin merubah ideologi negara dengan cara kekerasan. Tapi separatisme seperti OPM, lebih berbahaya dari radikalisme.
Pak Kapolri pun saat menjalani fit and proper test Komisi III DPR pun menyatakan bahwa radikalisme tidak boleh dikaitkan dengan islam.
Belakangan presiden Jokowi jsutru meminta istilah radikalisme diganti menjadi manipulasi agama. Istilah yang definisinya pun belum jelas juga.
Kalau merujuk di dalam Al-Quran ada Surat Al-Ma’un yang sangat populer di kalangan warga Muhammadiyah: Ara`aita alladzi yukadzzibu biddin. Apakah yang dimaksud dengan manipulasi agama adalah mereka yang disebut di Surat Al-Ma’un itu? Yg antara lain; tak peduli dg dhuafa, dan kalau sholat unt riya/pamer\pencitraan.
Belum lagi kalau merujuk kepada hadits mengenai ciri-ciri munafik, yg sangat identik dg pemanipulasian Agama.
Atau jika melihat pemahaman kaum Khawarij yang tampilan beragamanya luar biasa dan bahkan melampaui ibadah kita, tetapi malah suka mengkafirkan dan membunuh. Yang mana yang dimaksudkan manipulasi agama?
Bahkan kalau merujuk pernyataan Pak Menteri, bahwa beliau bukan Menteri Agama Islam, tetapi Menteri Agama. Apakah berarti yang dimaksud manipulasi agama juga terkait dengan agama manapun?
Maka sebagaimana diingatkan oleh Ajengan Maman Imanulhaq, seharusnya bukan noise yang banyak dimunculkan, tetapi voice yang berkualitas.
Mari kita lihat teladan Rasulullah SAW saat pertama kali memasuki Madinah. Beliau memakai terminologi yang luar biasa, dimana beliau berpesan: ya ayyuhannas, afsyussalam, wa ath’imu attho’am, wa shilul arham, washollu billaili wannasu niyam.
Yaayyuhannas, dimana beliau menyeru seluruh manusia tanpa kecuali dengan penuh pemghormatan. Afsyussalam, pesan beliau untuk menebarkan kedamaian. Ath’imu attho’am, pesan beliau untuk berderma dan mengentaskan masalah ekonomi.
Wa shilul arham, pesan beliau untuk menghidupkan suasana silaturrrahim, semuanya satu sahabat, satu keluarga, satu bangsa, satu negara, tidak dipecah belah. washollu billaili wannasu niyam, pesan beliau untuk mengokohkan keagamaan kita.
Maka begitulah pelajaran dan teladan dari Baginda Nabi Muhammad SAW, suatu prinsip yang perlu diingatkan kembali kepada semuanya, termasuk kepada Kemenag.
Kemudian saya menyampaikan beberapa pernyataan dan kritik anggaran kepada Menag, terutama pos Pendidikan Islam yang mendapatkan anggaran terbesar di Kemenag. Bahkan lebih besar daripada anggaran Kemendikbud.
Kendati anggaran Pendis Kemenag lebih besar dari Kemendikbud, tetapi target yang dicanangkan oleh Kemendikbud ternyata jauh lebih besar. Sebagai contoh, Kemendikbud menganggarkan untuk mencetak 6.000an doktor, sedangkan Kemenag hanya 5.000 doktor, itupun tidak lagi menjadi program prioritas di tahun 2020. Saya usulkan agar kembali dimasukkan sbg program unggulan.
Peserta program Indonesia Pintar pada Kemendikbud angkanya mencapai 17 juta peserta, tetapi Kemenag dengan anggaran yang lebih besar hanya menjaring 2.205.431 peserta.
Bahkan BPK dalam pemeriksaan semester pertama tahun 2019 terhadap program Indonesia Pintar menemukan anggaran 365 miliar rupiah yang belum tersalurkan, sedangkan jelas sekali anggaran tersebut sangat bermanfaat untuk anak bangsa, terutama dalam lingkungan Kemenag.
Kita juga sudah mengetahui bahwa Kemenag per 17 Oktober 2019 mengambil alih jaminan sertifikat halal dari MUI, tetapi kenapa anggaran untuk Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal malah diperkecil?
Anggaran PJPH yang awalnya 190 miliar di tahun 2019 malah turun drastis menjadi 40 miliar, padahal penerapan kebijakan baru Jaminan Produk Halal tentunya membutuhkan dana tidak sedikit.
Kita juga ingat bahwa pada tahun 2018, Wapres RI saat itu Pak JK meresmikan pembangunan UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia), kata beliau targetnya 2020 universitas ini sudah beroperasi. Karena 2020 sudah dekat, apakah pembangunan UIII ini semakin meningkat progresnya atau malah sebaliknya?
Saya juga mendapatkan survei yang dilansir CNN Indonesia dari LSI yang membeberkan naiknya ketakutan publik untuk berekspresi pada tahun 2019, jika dibandingkan dengan tahun 2014.
Sebut saja angka ketidakbebasan beragama meningkat menjadi 13% dari yang awalnya 7%, ketakutan menyampaikan menyampaikan pendapat awalnya 24% menjadi 43%, ketakutan berorganisasi yang awalnya 10% menjadi 21%.
Jika kita berbicara radikalisme dan terorisme, maka data-data tersebut seharusnya memberikan konteks yang benar mengenai apa yang sesungguhnya dikhawatirkan masyarakat.
Dengan demikian, Saya juga dalam kesempatan kemarin menyampaikan aspirasi yg disampaikan Sahabat2 Netizen, sebagian tak saya sebut,krn sudah disampaikn olh Anggota DPR yg lain. Saya juga sampaikan aspirasi dari WNI kita di Malaysia. Para warga kita membutuhkan Atase Agama.
Atase agama, terutama di negara-negara yang terdapat banyak WNI disana, sangat dibutuhkan demi melancarkan segala pengurusan WNI yang berkaitan dengan kehidupan beragama, seperti pernikahan dan lain sebagainya.
Alhamdulillah Kemenag merespon positif kritik dan masukan yang dikemukakan. Bahkan usulan saya agar memperhatikan sejarah berdirinya kemenag, soal radikalisme dan penempatan Atase Agama RI di luar negeri, disetujui masuk dalam Kesimpulan Raker Komisi VIII DPR RI.
Namun, Pernyataan dan kritik kepadaKemenag belum berakhir, karena Kemenag harus selalu diawasi dan dikritisi secara bersama, oleh Rakyat dan oleh kami di DPR sbg wakil Rakyat. Agar kemenag tetap berada sesuai dg maksud awal didirikannya Kemenag;unt apresiasi Umat Islam, dan tidak unt pojokkan Umat Islam.
Akhirnya, semoga Allah SWT menerima semua yg kita lakukan jadi ibadah. Terimakasih untuk semua masukan aspirasi dari Sahabat2 semuanya. Semoga di hari Jumat ini keberkahan meliputi kita semua. (HNW)