Ideologi Terpimpin dan Sengketa Ideologis
Ideologi Terpimpin dan Sengketa Ideologis
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center)
Kepentingan negara harus didahulukan dalam hubungan negara dan masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Hegel. Dikatakan pula bahwa negara memegang monopoli dalam menentukan apa yang benar dan yang salah mengenai hakikat negara, menentukan apa yang moral dan yang bukan moral dan apa yang baik dan yang destruktif.
Perihal monopoli sebagaimana diajarkan Hegel berhubungan dengan monopoli penafsiran atas ideologi Pancasila dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Kehadirannya sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Selain itu, juga berperan sebagai arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk kepentingan tersebut disebutkan, Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Hal ini menunjukkan absolutisme negara melalui penafsiran sepihak terhadap Pancasila dan dengannya menjadikan Pancasila – yang sejatinya sebagai sumber segala sumber hukum (norma dasar) – diturunkan dalam bentuk undang-undang. Alasannya pun tidak masuk akal. Disebutkan bahwa Haluan Ideologi Pancasila sebagai “pedoman instrumentalistik yang efektif” dimaksudkan untuk menghindarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dari kemungkinan terjadi sengketa ideologis berkepanjangan yang bagi banyak negara lain dapat menimbulkan perpecahan dan terjadinya tragedi kemanusiaan. Di sisi lain, kandungan inti RUU HIP hanya mengambil pendapat Bung Karno pada saat sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Terlihat adanya upaya sistemik menegasikan Piagam Jakarta dan Dekrit Presiden.
Sengketa ideologis berkepanjangan dengan menunjuk negara lain dan timbulnya perpecahan dan terjadinya tragedi kemanusiaan adalah sebagai alasan belaka. Rumusan tersebut lebih mengarah pada dua kubu saat berlangsungnya sidang perumusan dasar negara yakni kubu Nasionalis dan Islamis. Tokoh umat Islam pada akhirnya menerima dihapuskannya tujuh kata Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sehingga tidak dimasukkan dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Patut untuk dicatat melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dinyatakan, “bahwa piagam djakarta tertanggal 22 djuni 1945 mendjiwai undang-undang dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Dekrit Presiden telah menghubungkan Piagam Jakarta dengan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Walaupun pada Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 tidak ada tambahan kalimat “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, namun berdasarkan Dekrit Presiden rumusan Piagam Jakarta tersebut tetap menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dengan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945.
Penjelasan Haluan ideologi Pancasila sebagai sebagai pedoman instrumentalistik, telah memberi peluang penerimaan atas paham Sosialisme-Komunisme/Marxisme guna menghindari sengketa ideologis sebagaimana alasan dimaksud. Dengan demikian, tidak ada lagi sengketa ideologi antara Nasionalis, Agama dan Komunis. Pada saat yang bersamaan, penerapan Syariat Islam secara legal-konstitusional akan terhadang. Menjadi pantas, RUU HIP tidak memasukkan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang PKI Dan Larangan Komunis/Marxisme-Leninisme sebagai konsiderannya.
Absolutisme negara dalam penafsiran terhadap ideologi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas menjustifikasi kepemimpinan yang totaliter. Ini sesuai dengan bentuk ideal negara yang dicita-citakan Hegel, sebagai sebuah monarki. Totalitarianisme yang dimaksudkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring pemerintahan menjadi fasis. Tidak dapat dipungkiri rasisme memiliki hubungan erat dengan nasionalisme, sepanjang kebanggaan terhadap bangsa diungkapkan secara berlebihan (chauvinisme), salah satunya adalah kebanggaan terhadap budaya. Dalam konteks Haluan Ideologi Pancasila, kedudukan budaya demikian siqnifikan, sementara peranan agama termarginalisasi. Pembinaan agama disebutkan sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia.
Penting disampaikan, apabila RUU HIP terus dilakukan pembahasan dengan diakomodirnya pencantuman Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966. Kemudian disahkan menjadi undang-undang, maka itu sama saja membenarkan dalil penyelesaian sengketa ideologis, antara Nasionalis dan Islamis di satu sisi dengan Komunis di sisi lain. Seiring dengan itu Ideologi Terpimpin berada pada Presiden. Melalui tata Masyarakat Pancasila guna membentuk Manusia Pancasila berpotensi menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Sebagai ideologi tunggal, maka sendi pokok Pancasila bukan lagi Ketuhanan Yang Maha Esa. Disebutkan dalam RUU HIP bahwa sendi pokok Pancasila adalah Keadilan Pancasila. Di sini telah terjadi mutasi atas sila pertama Pancasila. Keadilan Sosial menempati derajat paling atas, sementara sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” di posisi paling bawah. Keadilan Sosial dilepaskan dari nilai-nilai ajaran agama berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi mengikat, mendasari dan menjiwai sila-sila lainnya, termasuk Keadilan Sosial. Konsekuensinya menunjuk pada sistem ekonomi yang akan dianut. Sistem ekonomi Islam tentu tidak lagi menjadi rujukan. Oleh karena itu, hanya tinggal dua pilihan, yakni “Sosialis-Komunis/Marxis” atau “Liberalis-Kapitalis”. Sebagai catatan, Komunis kini ‘berwajah’ Liberalis, dan bahkan lebih Kapitalis. Kesemuanya itu terhubung dengan ‘negara penerima manfaat’ yakni Republik Rakyat Tiongkok. Hal ini telah sering penulis katakan.
Jakarta, 10 Juni 2020.