Ide Menambah Periode Jabatan Presiden Harus Ditolak
Luwuk.today, Jakarta – IDE penambahan masa periode jabatan presiden menjadi tiga periode muncul dalam wacana amandemen UUD 1945. Meski pimpinan MPR mengatakan ini bagian dari aspirasi publik yang tak boleh dibunuh, saya melihat kemunculan wacana ini patut dihentikan sejak awal. Wacana ini seperti membuka kotak pandora dan akan memicu diskursus lain yang substansial seperti pemilihan langsung atau oleh MPR, soal bentuk negara bahkan hal yang mendasar lain.
Prinsip dasar ketika kita mendiskusikan kekuasaan dalam konteks demokrasi adalah “pembatasan” dan “kontrol”, bukan malah justru melonggarkannya. Sebab, meminjam Lord Acton, kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Dan kekuasaan yang absolut, kecenderungan menyelewengnya juga absolut.
Dalam diskusi mengenai kekuasaan, setiap orang bahkan harus dicurigai sebagai “orang jahat” yang perlu dikontrol. Dan ini berlaku juga bagi “orang besar” atau “negarawan”. Sehingga, ide penambahan periode jabatan presiden ini tak masuk kriteria untuk bisa didiskusikan lebih jauh. Ide tersebut bahkan harus segera didiskualifikasi dari perbincangan. Harus ditolak sejak awal.
Kini bahkan ada yang mengusulkan amandemen total UUD 1945, termasuk Pembukaan. Itu kan lontaran yang miskin wawasan. Wacana liar ini bisa menyasar ke urusan dasar negara dan bentuk kesatuan atau federasi.
Batang tubuh UUD memang bisa diamandemen oleh anggota MPR. Tapi kebebasan itu tak berlaku bagi Pembukaan (Preambule). Pembukaan UUD 1945 memuat “staatidee” berdirinya Republik Indonesia, memuat dasar-dasar filosofis serta dasar-dasar normatif yang mendasari UUD. Sehingga, mengubah Pembukaan sama artinya dengan membubarkan negara ini. Pembukaan ini seperti naskah Proklamasi, tak bisa diubah. Kecuali, kita memang ingin membubarkan negara ini dan mendirikan negara baru yang berbeda.
Jadi, meski kita punya kebebasan untuk mengeksplorasi gagasan, namun setiap gagasan yang dilontarkan tidak boleh ngawur. Pernyataan-pernyataan semacam itu menjadi iklan yang buruk bagi rencana amandemen kelima UUD 1945. Publik jadi akan mempertanyakan kompetensi mereka yang akan melakukan amandemen.
Di tengah terus merosotnya indikator demokrasi dan kebebasan sipil di negara kita, setiap upaya yang bisa memberi jalan bagi kembalinya otoritarianisme harus kita tutup. Ide penambahan periode jabatan presiden adalah salah satunya.
Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh University of Virginia School of Law baru-baru ini (2019), “The Law and Politics of Presidential Term Limit Evasion”, dinyatakan bahwa secara global tidak kurang dari sepertiga presiden petahana yang sudah habis batas periode jabatannya berupaya mengubah konstitusi negaranya untuk tetap mempertahankan kursi kekuasaannya. Kecenderungan ini bukan hanya terjadi di negara-negara non-demokratik, tapi terjadi juga di negara-negara demokratik.
Studi tersebut juga menyebutkan 5 strategi konstitusional yang kerap digunakan presiden petahana untuk tetap berkuasa. Pertama, melalui amandemen konstitusi. Strategi ini paling banyak digunakan, yakni 67%. Kedua, melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang batasan masa jabatan (10%). Ketiga, membuat konstitusi baru (8%). Keempat, memanfaatkan “faithful-agent”, yakni suksesor yang berada di bawah kendali petahana (10%). Dan kelima, melalui strategi penundaan pelaksanaan pemilu (5%).
Jika merujuk pada penelitian tersebut, dalam konteks Indonesia strategi yang bisa digunakan petahana untuk memperpanjang kekuasaannya adalah dengan amandemen konstitusi. Sebab, petahana tak mungkin menggunakan strategi kedua, karena pada 2018 lalu MK sudah pernah menolak permohonan uji materi Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) UU Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Dengan adanya putusan tersebut, maka penafsiran tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah jelas, yaitu hanya 2 periode, sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945.
Memang, strategi ketiga, keempat, dan kelima masih terbuka digunakan. Tapi sejauh ini wacana-wacana tersebut belum pernah muncul ke permukaan. Yang sudah muncul adalah dengan menunggangi agenda amandemen kelima UUD 1945.
Sejauh ini memang belum ada partai atau pejabat negara yang secara tegas mengusung wacana tersebut. Tapi ke depannya, jika publik bersikap toleran, bukan tidak mungkin isu penambahan periode jabatan presiden ini akan terus digulirkan.
Saya berharap publik mendiskualifikasi wacana ini dari perbincangan. Sebab, yang kita butuhkan saat ini “meremajakan kembali” Reformasi, bukan malah menarik mundur kembali Reformasi.
Jika wacana tersebut dibiarkan hidup, saya khawatir harga politiknya sangat mahal. Dan ini pernah terjadi di Paraguay pada 2018, Burkina Faso di 2015, dan Malawi pada 2002. Jadi, sudahlah, jangan beri rakyat wacana ngawur yang bisa memundurkan bahkan mematikan demokrasi.
Lagi pula, ide penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode akan membuka kotak pandora. Sebagian orang mungkin akan menuntut pembahasan ulang dasar negara, dan hal-hal tidak produktif yang akan menenggelamkan kita pada pertengkaran dan kehancuran. Saya berharap wacana tersebut tidak diteruskan. Pemerintah sebaiknya fokus benahi ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh: Fadli Zon (Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Anggota Komisi I DPR RI)