DR. Budi Handrianto: Masalah Jilbab Sudah Selesai Sejak Turun Qs An-Nur 31 dan Al-Ahzab 59
Luwuk.today,- Pembicaraan dan kegaduhan tentang polemik seputar masalah jilbab kembali menghangat. Pemicunya antara lain tulisan seorang ngustadz (ngaku ustasz) yang anti jilbab. Ia mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab dan tidak wajib bagi wanita Muslimah.
“Fatwa nyeleneh” ini mendapat reaksi dan tanggapan dari berbagai pihak. Mulai dari emak-emak hingga akademisi. Akademisi Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, DR. Budi Handrianto menganggap, masalah jilbab sebenarnya sudah selesai sejak turunnya Surat A-Nur ayat 31 dan Surat Al-Ahzab ayat 59.
“Masalah ini (jilbab) sudah selesai sejak turun QS an-Nur 31 dan al-Ahzab 59. Tidak ada perdebatan dan perbedaan pendapat yang signifikan”, tegasnya, Sabtu (18/01/2020) lalu.
Berikut pandangan lengkap Doktor Budi tentang polemik “jilbab tidak wajib”
Dalam agama ada istilah yang dikenal denga ma’lumun minad din bidharury. Artinya, sudah jamak dan lumrah diketahui orang, tidak perlu diperdebatkan. Misalnya soal Allah itu Maha Esa, Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir, shalat itu wajib, shalat harus wudhu atau tayamum dulu, haji itu ke baitullah, zina itu haram, amar makruf nahi mungkar itu kewajiban tiap orang, dsb. Kita tidak perlu lagi mengutak atik masalah ini, terutama hukum2nya. Kita hanya -kalau diperlukan, mengembangkan dan menafsirkan saja.
Namun, ada saja orang2 nyleneh yg ingin “mendobrak” hal2 yg sdh baku dalam agama ini. Sesuatu yg hukumnya sdh tetap disebutnya terdapat khilaf ulama (perbedaan antara ulama). Padahal ketika ditanya siapa ulama yg berbeda itu ya mereka tidak bisa menyebutkan. Kalaupun dipaksakan ya “ulama” versi mereka sendiri.\
Baca Juga: Adakah Dalil Qur’an Tentang Cadar?
Contohnya adalah soal jilbab. Masalah ini sdh selesai sejak turun QS an-Nur 31 dan al-Ahzab 59. Tidak ada perdebatan dan perbedaan pendapat yg signifikan. Maka, tidak perlu kita berdebat, mengangkat2 pendapat mereka yg nyleneh, sungguhpun kita megelus dada membacanya, agar pendapat mereka tenggelam dg sendirinya. Dalam sejarah intelektual negeri ini memang ada saja upaya2 tsb. Misal, ada cendekiawan (saya kurang sreg menyebut mereka ulama) yg menghalalkan pernikahan beda agama. Lalu ada calon doktor yg menhalalkan zina, terakhir ada orang ngaku-ngaku ustadz membolehkan bahkan memberikan contoh istrinya tidak berjilbab.
Dulu ada cendekiawan yang membolehkan nikah beda agama. Tapi ketika putrinya sendiri nikah dg orang kafir, ia syok juga. Mungkin pendapatnya itu utk orang lain, jangan anaknya sendiri. Tapi sekarang, ada “ustadz” dengan bangga memamerkan istrinya melepas jilbab. Naudzu billah min dzalik. Sebuah kemajuan dilihat dari kesesatan dibanding sebelumnya. Maka, terhadap mereka tdk perlu didebat karena seringkali mereka hanya ingin mendapat perhatian saja, tidak benar-benar serius berdalil. Cukup didiamkan saja dan jangan dibesar-besarkan.
Baca Juga: Buya Hamka Berkisah Tentang Jilbab dan “Cadar” di Indonesia
Yang diperlukan adalah memperkuat keimanan dan ketakwaan diri dan keluarga masing-masing. Istri dan anak adalah tanggungjawab kita. Tugas kita menyelamatkan dan membentengi diri dan keluarga dari api neraka termasuk dari paham-paham liberal dan sekuler. Semakin kuat nilai-nilai Islami dalam keluarga maka virus-virus liberal dari luar akan melemah dengan sendirinya.
Ingatlah firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (QS at-Tahrim: 6) []