Dipaksakan saat Covid-19 Bikin Anggaran Pilkada Membengkak
PEMERINTAH, DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengambil keputusan secara bulat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 270 akan digelar pada 9 Desember. Tahapannya akan dimulai 15 Juni dengan mengusung protokol kesehatan termasuk penggunaan alat sekali pakai.
Maka KPU mensiasati pilkada di tengah korona dengan menerapkan sejumlah terobosan seperti mengganti paku dengan semacam tusuk gigi untuk mencoblos surat suara, sepray menggantikan botol tinta penanda telah memilih penerapan rekapitulasi elektronik (rekap-el) dan mematok 300 dari 800 pemilih disetiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sayangnya penyesuaian pilkada di tengah pandemi virus korona ini menyedot anggaran miliaran rupiah dari APBD atau APBN, atau di luar Rp535 miliar anggaran pilkada yang sudah ditetapkan lewat NPHD.
“Karena pandemi dan status darurat nasional belum tahu sampai kapan dan tahapan pilkada harus mulai Juni maka pelaksanaan seluruh tahapannya mesti menjalankan protokol kesehatan yang tentu menbutuhkan anggaran tambahan. Termasuk KPU sedang membahas kapan saja waktu pemeriksaan kesehatan lewat tes untuk petugas di lapangan,” kata Arief saat diskusi virtual, Kamis (28/5).
Menurut dia, penambahan anggaran merupakan konsekuensi pilkada di tengah pandemi virus korona. Dengan itu pesta demokrasi di 270 daerah bisa berjalan lancar tanpa menambah panjang rantai penyebaran virus korona.
Ia mengatakan penambahan anggaran untuk memenuhi kebutuhan protokol kesehatan pun harus dikeluarkan. Sejauh ini sumbernya masih dianalisa apakah dari APBD atau APBN.
Terlepas dari kebutuhan tambahan anggaran untuk pemenuhan protokol kesehatan, Arief mengatakan KPU tengah mematangkan panduan tahapan dan pelaksanaan pilkada di 270 daerah. Hal itu seperti mencari perlengkapan yang dibutuhkan tetapi tidak boleh menjadi media penyebaran virus.
“Itu seperti kita kan masih menggunakan paku untuk mencoblos tapi ingin menghindarkan jangan sampai berkali-kali dipakai banyak orang untuk mencoblos. Maka kita harus mengganti dengan seperti tusuk gigi, tapi bukan tusuk gigi karena nanti bekasnya tidak terlalu terlihat,” paparnya.
Kemudian penanda memilih yang sedianya tinta di dalam botol, kata dia, harus diganti supaya terbebas dari penularan korona. “Sejauh ini ada dua pilihan, tintanya bisa dengan ditetes atau akan digantikan dengan sepray seperti halnya hand sanitizer yang dipegang PPS,” katanya.
“Mengenai jumlah pemilih setiap TPS juga akan kita atur supaya tidak berjejalan. Menilik negara lain setiap TPS hanya untuk 250-300 pemilih dan kita akan segera putuskan dari kondisi normal TPS di kita bisa menampung 800an orang,” ujarnya.
Menurut Arief, hal lain yang tengah dimatangkan adalah penggunaan rekap-el di seluruh daerah. Tujuanya supaya panitia penyelenggara pilkada lebih terbantu, waktu pengerjaan rekapitulasi menjadi singkat dan menutup ruang penyebaran virus korona.
“Seluruhnya membutuhkan dukungan dan ketersediaan anggaran. Yang harus dicatat tahapan akan mulai 6 dan kalau tidak bisa maka 15 Juni. Ketika PPS dan PPK mengerjakan tahapan verifikasi dukungan calon perseorangan kemudian pemutakhiran data pemilih itu sudah harus didukung anggaran protokol kesehatan,” paparnya.
Ia menjelaskan KPU meminta pemerintah menyediakan anggaran tambahan untuk protokol kesehatan disetiap tahapan, hari pemilihan hingga penetapan termasuk tes swab atau PCR panitia penyelenggara pilkada. Sejauh ini terdapat tiga opsi untuk sumber biaya protokol kesehatan tersebut.
Pertama karena dalam regulasi diatur pembiayaan pemilihan kepala daerah itu dari APBD maka harus ada tambahan dari kas daerah. Namun demikian hal itu tidak mengganggu NPHD yang sudah ditandatangani.
Kedua anggaran tambahan itu dari APBN supaya tidak ada lagi perdebatan panjang untuk menyepakati NPHD. “Namun kemarin ketika rapat konsultasi itu kan diputuskan akan dibahas oleh DPR yang biasanya kalau dibahas oleh DPR usulan anggaran akan dipenuhi oleh APBN nah kami tentu lebih apa namanya lebih nyaman,” pungkasnya. (OL-4)
Kategori : Media Eksternal