Debat Bharatayuda
BELUM lama ini ada kabar akan adanya debat mengenai utang negara, antara wakil pemerintah dan mereka yang mengklaim sebagai oposisi. Namun, karena adanya syarat-syarat tertentu dari salah satu pihak, rencana adu pikiran tersebut akhirnya batal atau tertunda.
Sebenarnya debat itu upaya baik sejauh bertujuan baik untuk bangsa dan negara. Sinergi di antara seluruh komponan bangsa diperlukan untuk mencari solusi setiap permasalahan. Namun, kadang niat mulia menjadi sia-sia karena ada ‘udang di balik batu’ sehingga tidak membuat padang, tetapi malah meradang.
Dalam seni pakeliran, ada kisah yang menceritakan adanya perdebatan sengit terkait dengan suatu masalah. Terjadi adu kepintaran dan kedalaman wawasan. Perbedaannya sangat keras sehingga sulit mencapai titik temu. Akan tetapi, karena samasama diniati untuk kebenaran, keadilan dan kedamaian tercapai.
Kresna-Kilatbuwana
Alkisah, Raja Negara Astina Prabu Duryudana kedatangan tamu, seorang begawan bernama Kilatbuwana. Ketika itu sedang berlangsung rapat paripurna menjelang pecahnya perang Bharatayuda. Ini peperangan Kurawa melawan Pandawa di padang Kurusetra yang gaungnya sudah lama menggema.
Kilatbuwana mengatakan kehadirannya sekadar ingin memberikan bantuan kepada sang raja terkait dengan masalah yang dihadapi. Ia mengaku bisa membatalkan Bharatayuda dan menjamin Duryudana tetap bertakhta di Astina.
Duryudana yang gila kekuasaan langsung tertarik dengan pernyataan begawan dari antah berantah itu. Tanpa meminta pendapat para nayaka praja yang hadir, sulung Kurawa itu menerima bantuan yang ditawarkan. Ia pun sepenuhnya menyerahkan realisasinya kepada sang tamu.
Patih Sengkuni yang biasanya kritis, kali ini hanya diam, tapi menunjukkan gelagat setuju. Adapun paranpara Durna dan sang senapati, Karna Basusena, saling pandang seraya mengangkat bahu.
Keduanya seperti pasrah akan keputusan sang raja meski tampak gelisah. Langkah awalnya, Kilatbuwana meminta agar Pandawa diundang membicarakan hal itu. Sengkuni kemudian memerintahkan seorang utusan datang ke Amarta menyampaikan nawala (surat) raja kepada Pandawa agar hadir di Astina merembuk masalah negara.
Sesuai dengan jadwal undangan, Pandawa tiba di istana Astina tepat waktu. Mereka disambut tuan rumah dengan ramah. Singkat cerita Kilatbuwana lalu berceramah, yang intinya Bharatayuda tidak perlu terjadi. Kedua keluarga trah Begawan Abiyasa itu setuju dan sepakat.
Tiba-tiba datanglah Kresna menyela pertemuan di sitinggil itu. Ia sengaja menyusul Pandawa, kadangnya, karena pergi ke Astina membahas urusan negara tanpa mengabari dan meminta pertimbangannya.
Kresna mendapat info kepergian Puntadewa dan keempat adiknya itu dari para putra Pandawa. Kresna bertanya kepada Kilatbuwana, apa dasarnya Bharatayuda dibatalkan. Begawan sepuh itu tidak menjawab, tetapi malah meminta Kresna pergi karena ini mligi (khusus) urusan Pandawa dan Kurawa. Kilahnya, Kresna orang luar yang tidak berhak cawe-cawe (campur tangan).
Raja Negara Dwarawati itu tersenyum. Ia menjelaskan Pandawa adalah adik sepupunya sehingga dirinya wajib mengerti. Bahkan, dirinya bertanggung jawab merah dan putihnya. Maka, bila itu urusan Pandawa, berarti itu juga urusannya. Malah Kresnamembalikkan, justru Kilatbuwana yang tidak jelas asal usulnya yang seharusnya tidak terlibat dalam urusan ini.
Kilatbuwana menyanggah. Ia berargumen, dirinya sebagai begawan memiliki hak dan kewajiban menenteramkan jagat. Oleh karena itu, Bharatayuda yang pasti menimbulkan banyak korban jiwa dan materi harus dihapus. Apalagi, lanjutnya, Pandawa dan Kurawa bersaudara.
Kresna menyebut Kilatbuwana tidak mengerti hakikat Bharatayuda. Itu bukan sekadar perang tampak kulit yang menyangkut kekuasaan atau keduniawian, tetapi sejatinya mengandung pesan suci. Ini keutamaan melawan kezaliman.
Namun, sergah Kilatbuwana, perang di mana pun adalah saling bunuh. Dari sisi apa pun, itu kekejaman karena tidak ada hati dan nurani. Lantas, bagaimana itu disebut sebagai perang suci?
Hanya orang sesat yang berpikiran demikian itu. Debat berlanjut. Kresna kembali menegaskan bahwa Bharatayuda adalah peperangan antara nafsu putih dan nafsu hitam. Kodrat menggariskan yang putihlah yang akan menang sehingga keadilan, kedamaian, dan ketenteram terwujud. Oleh karena itu, Bharatayuda pasti akan terjadi. Tidak ingin berlarut-larut, Kilatbuwana lalu menyerahkan keputusan akhir kepada Kurawa dan Pandawa. Kedua belah pihak ternyata masih berpendirian seperti semula, yakni setuju Bharatayuda dibatalkan.
Kresna menasihati Pandawa bahwa Bharatayuda adalah hukum alam. Ia pun mengajaknya kembali ke Amarta. Namun, adik-adiknya itu benar-benar telah terbius sehingga menolaknya. Sikap keras ini kejanggalan. Selama ini, Pandawa begitu hormat dan patuh terhadap Kresna, bukan hanya karena ia saudara tua mereka, tetapi lebih karena sebagai titisan Bathara Wisnu.
Kresna tidak memaksakan kehendak. Ia kemudian pamit kembali ke Dwarawati. Dalam hatinya ia yakin Pandawa sedang lupa, dan pada saatnya nanti pasti akan kembali waras serta menyadari kekeliruan itu.
Setelah Kresna pergi, Kilatbuwana mengatakan pembatalan Bharatayuda membutuhkan syarat. Dia bertanya kepada Pandawa dan Kurawa, apakah bersedia memenuhinya. Mereka sama-sama menyanggupi. Syarat itu adalah Kresna dan Semar Badranaya harus disirnakan dari muka bumi.
Butuh perbedaan
Pada akhirnya, justru karena syarat itulah, kedok Kilatbuwana terkuak berkat ketajaman mata batin Semar. Kilatbuwana adalah jelmaan Bathara Guru, penguasa Kahyangan Jonggring Saloka. Ia menyamar untuk mengetahui bagaimana Bharatayuda itu dipahami dan mesti terjadi.
Jadi, hikmah kisah ini ialah ada perbedaan, tetapi sama tujuannya. Perdebatan antara Kresna dan Kilatbuwana yang tampak tidak ada titik temu itu sejatinya sama-sama memperjuangkan ketenteraman jagat.
Terkait dengan isu debat, bangsa ini membutuhkan aneka perbedaan. Namun, itu mesti dilandasi niat bersih. Jangan ada ‘dusta’ dengan mengusung agenda setting tertentu yang malah akan menimbulkan kegaduhan tidak menentu. (M-2)
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/323800-debat-bharatayuda
Kategori : Media Eksternal