Bidasan Bahasa Nama yang Baik
PUJANGGA Inggris Shakespeare boleh saja mengatakan, “Apalah arti sebuahnama.” Akan tetapi, pada kenyataannya, kita tidak bisa sembaranganmemilih sebuah nama untuk penyebutan jati diri. Sembarangan dan salah memilih nama bisa berakibat fatal bagi penggunanya, bahkan mungkin bisa berujungpenghinaan. Usahakanlah tetap memilih nama yang mengandung pengertian yang baik agar dapat selalu diterima masyarakat.
Minggu lalu muncul video yang cukup viral di media sosial mengenai aksi pembagian nasi bungkus oleh suatu kelompok masyarakat kepada warga di wilayah Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Bukan aksi pembagiannya yang dipermasalahkan, melainkan nama nasi bungkusnya yang menimbulkan keresahan warga yang menerima.
Dalam bungkusan nasi tersebut terdapat cap yang bertuliskan ‘nasi anjing’ lengkap dengan gambar kepala anjingnya. Warga jelas menjadi resah dengan adanya tulisan itu. Sebab, istilah ‘nasi anjing’ itu seolah mengandung arti ‘nasi yang berlauk daging anjing’ atau bisa juga ‘nasi untuk anjing’. Keduanya tidak enak didengar telinga. Bagi kaum muslim, daging anjing haram untuk dikonsumsi. Apalagi, istilah itu beredar saat bulan Ramadan.
Pemilik ‘nasi anjing’ buru-buru mengklarifi kasi bahwa tidak benar mereka membagikan daging anjing dalam nasi yang dibagikan. Penamaan nasi yang berlauk tempe teri orek, bakso, atau sosis itu hanyalah istilah seperti nasi kucing (sego kucing) untuk menunjukkan porsi nasi yang diberikan lebih besar daripada porsi nasi kucing.
Akan tetapi, keresahan warga sudah lebih dulu merebak hingga akhirnya kasus itu ditangani aparat kepolisian. Nama makanan yang berbau nyeleneh bukan baru kali ini muncul di masyarakat. Dengan mengusung spirit ‘kreativitas’ dan ‘keunikan’, muncul berbagai nama makanan yang aneh. Mulai yang berbau horor hingga yang berbau porno dan vulgar.
Pada Agustus 2016, muncul produk snack bernama Bikini (singkatan dari bihun kekinian). Makanan ringan berbahan bihun itu menghebohkan masyarakat karena slogannya yang berbau pornografi dan tidak berizin produksi hingga BPOM turun tangan menyita produk itu dari peredaran.
Tahun sebelumnya, 2015, muncul menu vulgar berbau porno yang disajikan sebuah kedai di Sleman, Yogyakarta. Menu masakan yang berupa singkatan itu meresahkan warga karena menampilkan nama-nama vulgar seperti gigolo (gerombolan nasi goreng sesuka lo), pelacur (pemusnah lapar cukup rasional), atau ereksi (ekstra telur serta nasi). Setelah mendapat protes keras dari kelompok masyarakat, akhirnya nama-nama menu vulgar itu diganti sang pemilik kedai. Resah terhadap nama dan istilah bisa saja terjadi jika itu sudah menyinggung hal yang berbau SARA atau pornografi .
Akan tetapi, tidak elok pula jika kita terlalu baper (bawa perasaan) terhadap sebuah nama hingga memaksakan untuk menyebut nama itu tidak bagus dan harus diganti. Saat awal dimulainya anjuran kerja, sekolah, dan ibadah di rumah akibat merebaknya virus korona, beredar tulisan di grup WA berupa anjuran agar mengganti nama virus korona dengan qif. Alasannya, dalam bahasa Arab, korona berarti ‘berhubungan atau berterusan’, sedangkan qif bermakna ‘hentikanlah’ atau ‘setop’. Penggantian nama itu diharapkan agar virus segera berhenti penyebarannya.
Saya termasuk yang percaya bahwa nama dan sebutan itu ialah doa. Akan tetapi, ya bukan begini pula penerapannya dalam menyikapi nama virus. Pertama, karena korona itu bukan dari Arab meski kebetulan ada pula artinya dalam bahasa Arab. Kedua, jelas bikin repot para jurnalis yang menganggap nama merupakan bagian dari data kalau harus mengganti nama korona karena alasan itu. Aya aya wae dah.
Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/309773-bidasan-bahasa-nama-yang-baik
Kategori : Media Eksternal